Oleh: Fadmin Malau
TRADISI yang membudaya pada masyarakat Tapanuli Tengah menjelang sehari sebelum bulan Puasa Ramadan menyambutnya dengan mandi Balimau atau (Bahasa Pesisir: Balimo), aktivitas silaturahmi dan malopeh atau mamogang sudah ada tiga ratus tahun yang lalu.
Tradisi membudaya secara turun temurun memang dalam ajaran agama Islam tidak ada ditemukan. Murni budaya yang berkembang dalam masyarakat Tapanuli Tengah. Budaya Balimau dan Mamogang memiliki sentuhan ke-Islam-an yakni bersilaturahmi dan saling memaafkan menjelang melaksanakan ibadah puasa Ramadan.
Tradisi budaya Balimau dan Mamogang memiliki makna lahiriah maupun bathiniah. Tradisi balimau dan mamogang bisa dikaji dari perspektif agama dan budaya. Perspektif agama, tradisi Balimau mengingatkan manusia kepada kehidupan yang hakiki (sebenarnya) yakni kematian. Dalam ajaran agama Islam setiap orang Islam yang meninggal dunia, sebelum jasadnya dikubur harus dimandikan dahulu.
Sedangkan dari perspektif budaya, tradisi mandi Balimau pada dasarnya kegiatan penyucian dalam segala bentuk, yakni penyucian bathiniah dengan cara mengunjungi sanak keluarga, meminta maaf dan saling mengikat kembali silaturahmi satu sama lainnya. Kemudian penyucian lahiriah atau fisik dengan melakukan mandi Balimau atau mandi dengan menggunakan limau.
Budaya mandi Balimau dan Mamogang mengalahkan budaya modren yang kini menjamur di Indonesia, terutama bagi masyarakat urban (perkotaan). Ternyata kebiasaan memanjakan diri dengan Spa, lulur untuk mengharumkan tubuh yang banyak terdapat di kota besar di Indonesia ketika tradisi budaya Balimau tiba kehadiran Spa, lulur dan sejenisnya tidak menjadi hitungan dan tidak menghilangkan budaya leluhur yang ada.
Masyarakat yang melaksanakan tradisi budaya mandi Balimau itu pasti mengetahui adanya Spa, lulur dan sejenisnya atau yang tujuannya untuk membersihkan diri, hampir semua masyarakat yang melaksanakan tradisi budaya mandi Balimau itu mengetahuinya dan hampir semuanya memiliki uang untuk melakukan aktivitas Spa, lulur dan sejenisnya. Namun, sudah pasti tidak sama dengan tradisi budaya mandi Balimau.
Tradisi budaya mandi Balimau sudah ada ratusan tahun lalu yang memiliki nilai sakral dan nilai-nilai luhur yang harus dilakukan. Bahan mandi Balimau yakni ramuan yang terdiri dari rebusan limau purut atau limau nipis, daun pandan, mayang pinang muda, akar wangi, bunga bungaan dan sebagainya yang bisa membuat tubuh wangi dalam waktu lama.
Semua ramuan itu ditumbuk dalam lesung lalu airnya diperas tanpa mempergunakan bahan kimia buatan dan teknologi pabrik tapi menghasilkan aroma yang sangat khas, alami dan sangat menyejukkan secara lahiriah dan ditambah bathiniah dengan melakukan kunjungan mengantarkan limau berserta kue-kue dengan makanan lainnya ke rumah keluarga, orang tua dan sanak famili lainnya sebagai pembuka acara silaturahmi saling memaafkan sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadan.
Nilai-nilai kebersamaan sebagai budaya luhur bangsa Indonesia ada dalam tradisi budaya mandi Balimau. Nilai-nilai kegotongroyongan, kebersamaan ada dalam rangkaian kegiatan mandi Balimau. Membersihkan kampung, rumah ibadah (mesjid, musholla, langgar, surau) secara bersama-sama, jalan dan parit dibersihkan untuk keindahan dan kebersihan dalam melaksanakan puasa Ramadan.
Masyarakat tidak resah dan bingung meskipun dahulu aliran listrik belum ada sementara kegiatan bulan puasa Ramadan banyak dilakukan malam hari seperti sholat Taraweh, membaca al-Qur’an (Tadarus) dan makan Sahur pada dinihari. Tidak ada aliran listrik disikapi dengan budaya kearifan lokal. Beda dengan hari ini, ketika aliran listrik telah menerangi pelosok desa di kabupaten Tapanuli Tengah, kearifan lokal itu mulai hilang dan ketika aliran listrik padam hampir semua warga bingung dan marah.
Seingat penulis ketika masa kanak-kanak, aktivitas puasa bulan Ramadan tidak berubah dari dahulu, tetapi seperti yang dilakukan hari ini. Namun, kearifan lokal membuat semuanya tidak ada masalah meskipun aliran listrik belum ada. Ketika bulan puasa Ramadan, mesjid, musholla, langgar, surau tetap terang dengan lampu patromat (istilah di daerah Tapanuli Tengah Strongkeng) dan lampu senter yang terbuat dari bambu melintang, pakai minyak tanah (minyak lampu). Lampu sentir dari bambu yang dilubangi, dipasangkan tali goni menghasilkan cahaya yang mampu menerangi lokasi mesjid, musholla, surau atau langgar.
Tidak ada masalah bagi masyarakat datang ke rumah ibadah untuk melaksanakan ibadah pada malam hari. Lagi budaya kearifan lokal berbicara. Daun kelapa kering yang banyak berserakan di bawah pohon kelapa dikumpulkan, dilepaskan dari pelepahnya, lantas dipadukan menjadi satu, diikat menjadi berbentuk obor. Daun kelapa kering yang diikat berbentuk obor itu namanya Sulo lalu dibakar ujungnya maka muncul api, jadilah obor yang dipergunakan sebagai penerangan berjalan menuju rumah ibadah.
Biasanya menjelang datang bulan puasa Ramadan, anak-anak seusia penulis kala itu ramai-ramai membuat Sulo karena lampu senter yang mempergunakan batere masih langka. Lebih praktis dan ekonomis dengan Sulo, cukup mengumpulkan daun kelapa kering yang berserakan di halaman rumah, disatukan, dipadatkan, lantas diikat menyerupai obor.
Sehari sebelum mandi Balimau di sungai yang airnya jernih, dilakukan aktivitas mamogang atau malopeh yakni menyembelih hewan (kerbau, sapi, kambing) di tanah lapang yang oleh masyarakat. Ada yang memiliki hewan yang utuh atau satu ekor, ada yang dimiliki beramai-ramai atau ada yang membeli dari penjual dalam bentuk kiloan.
Daging hewan itu dimasak, kemudian dibawa ketika mandi Balimau berserta nasi. Tidak hanya itu akan tetapi budaya mamogang atau malopeh satu manifestasi berbaktinya anak-anak kepada orangtua, mertua karena daging hewan yang disembelih atau dibeli di pasar (onan) dimasak dengan masakan yang lezat. Lantas makanan yang lezat itu dibawa ke rumah orangtua, mertua untuk diberikan sebagai makanan untuk bersahur pada malam Sahur pertama di bulan Ramadan.
Makanan atau laukpauk dari hewan yang disembelih (mamogang) diantar dengan memakai rantang kepada orangtua, mertua, sanak famili dan jiran tetangga. Saling memberi satu dengan lainnya. Biasanya yang muda memberi kepada yang tua sehingga tercipta silaturahmi sesama masyarakat, kerabat sebagai tanda persaudaraan.
***