Jakarta | EGINDO.co – Buat apa lagi seruan Gubernur DKI Jakarta, Aneis Bawesdan tentang larangan merokok karena Undang Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteru (Permen) Tentang Rokok dan tembakau sudah ada dan lengkap.
Hal ini dikatakan Dr. Rusli Tan SH, MM seorang pengamat sosial ekonomi kemasyarakatan kepada EGINDO.co Kamis (16/9/2021) petang, sehubungan dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melarang pedagang memajang kemasan/bungkus rokok di tempat penjualan sesuai dengan salah satu poin Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok.
Dinilainya hal yang penting bagaimana melaksanakan UU, PP dan Permen yang ada bagi semua Gubernur, Bupati/Walikota yang ada di Indonesia sehingga apa yang diinginkan dari UU, PP dan Permen tentang Rokok itu dapat terwujud.
Dijelaskannya perangkat hukumnya sudah jelas bahwa Undang‑undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ditambah lagi dengan sudah adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Kemudian ada lagi Peraturan menteri (Permen) Kesehatan Nomor 28 tahun 2013 tentang pencantuman peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan tembakau. “Jadi kurang apa lagi,” kata Rusli Tan.
Menurutnya hal yang penting sekarang bagaimana mengimplementasikan perundang undangan yang ada bukan membuat yang macam-macam, yang lucu-lucu membuat masyarakat bingung seperti tidak ada kerja yang lebih penting.
Rusli Tan, doktor hukum ekonomi itu mengatakan yang penting bagaimana meningkatkan ekonomi rakyat dengan menegakkan perundang-undangan yang ada. Artinya dengan peraturan ditegakkan maka semua pihak tidak ada yang dirugikan, sama-sama diuntungkan.
Tentang Rokok kata Rusli Tan saat ini kalau bicara industry rokok adalah industry satu-satunya yang bisa menanmpung tenaga kerja yang non skillied workers di sekitarnya. “Misalnya mbok mbok, ibu ibu yang hanya mengandalkan upah dari banyaknya jumlah lintingan rokok dikerjakan atau dilinting. Nah, bagaimana kalau industry itu tutup,” katanya mempertanyakan.
Diberikannya ilustrasi, si mbok meskipun diupah harian atau berdasarkan jumlah rokok yang dilinting per hari, mereka sudah senang dan bisa menghidupi keluarganya. “Kalau kita bicara soal rokok, harus juga bicara soal tenaga kerja yang mendukung pabrik rokok. Lihat di Kediri dan Kudus, mereka yang bekerja para wanita segala usia,” ujar Rusli.
Disamping menyerap tenaga kerja juga dari cukai rokok pemerintah atau negara juga sudah mendapat cukai sehingga dengan demikian, rokok adalah prodak yang legal, dilindungi UU dan harusnya dijaga pemerintah dengan baik yakni bagaimana cukai rokok yang besar itu digunakan untuk biaya kesehatan masyarakat sehingga berkontribusi dalam pelayanan kesehatan, tentu jika digunakan dengan baik, bukan saja pelayanan kesehatan yang murah bagi masyarakat akan tetapi bisa masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.@
Fd/TimEGINDO.co