Jakarta|EGINDO.co Mantan KasubditBin Gakkum AKBP (Purn.) Budiyanto,S.H., S.Sos., M.H., mengungkapkan perdebatan terkait kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai persyaratan untuk membuat dan memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM). Sebagian masyarakat mengkritik kebijakan ini karena dianggap tumpang tindih dengan asuransi kecelakaan dari Jasa Raharja, yang mewajibkan pembayaran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).
“Apa manfaat yang bisa dirasakan dari persyaratan BPJS aktif untuk membuat dan memperpanjang SIM, mengingat Undang-Undang No. 33 dan 34 tahun 1964 tentang dana santunan kecelakaan,” ucapnya.
Ia menjelaskan bahwa santunan dari Jasa Raharja memiliki batasan plafon, contohnya biaya perawatan transportasi darat hanya mencakup Rp 20 juta, sedangkan biaya perawatan kesehatan pribadi bisa melampaui plafon tersebut. Begitu pula dengan kecelakaan tunggal kendaraan pribadi, korban tidak mendapatkan santunan karena dianggap sebagai kelalaian sendiri.
“Dengan persyaratan BPJS ini, korban kecelakaan yang memerlukan perawatan di atas plafon dapat dijamin oleh BPJS dengan bukti laporan polisi,” tandasnya.
Menurut Budiyanto, dasar hukum persyaratan BPJS untuk membuat dan memperpanjang SIM antara lain adalah Instruksi Presiden No. 1 tahun 2022 mengenai optimalisasi program jaminan sosial kesehatan dan Peraturan Kepolisian No. 2 tahun 2023 yang mengubah Peraturan Kapolri No. 5 tahun 2021 tentang penerbitan SIM.
Pemerhati masalah transportasi dan hukum Budiyanto menegaskan bahwa penerapan BPJS sebagai syarat untuk SIM akan diuji coba mulai 1 Juli 2024 dan berlanjut beberapa bulan ke depan. Meskipun diizinkan secara hukum, Budiyanto menyarankan agar ada kajian mendalam dan proses uji coba yang cermat serta sosialisasi yang memadai agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat.
“Ia menyampaikan kepada masyarakat bahwa tujuan dari kebijakan ini juga memiliki nilai manfaat, misalnya sebagai penjamin tambahan dalam kecelakaan atau insiden yang mungkin terjadi,” tegasnya.
Budiyanto menambahkan bahwa plafon yang diberikan oleh Jasa Raharja terbatas, misalnya hanya mencakup biaya perawatan Rp 20 juta untuk kecelakaan transportasi darat dan Rp 25 juta untuk transportasi udara. Kekurangan biaya perawatan yang tidak tertanggung oleh Jasa Raharja dapat ditanggulangi oleh BPJS, termasuk beberapa kasus kecelakaan yang tidak dicakup oleh BPJS seperti kecelakaan tunggal kendaraan pribadi.
“Dengan demikian, manfaat dari BPJS dapat digunakan sebagai penjamin tambahan setelah Jasa Raharja, mengingat plafon yang terbatas,” tutup Budiyanto. (Sn)