Oleh: Jafar M Sidik
Donald Trump sudah tidak lagi menjabat presiden Amerika Serikat, namun dia tetap menjadi ancaman oleh sebagian kalangan dan sebaliknya menjadi harapan untuk sebagian lainnya. Bahwa karir politik atau pengaruh politiknya telah berakhir ternyata masih menjadi pertanyaan menggantung. Yang pasti saat meninggalkan Washington DC pada 20 Januari 2020, Trump berkata, “Kita akan kembali dalam bentuk lain”.
Pernyataan itu menyiratkan dia bakal terus berkiprah sekalipun menghadapi pemakzulan kedua yang unik karena dilakukan setelah dia sudah tak lagi menjabat presiden dan rangkaian gugatan hukum yang menunggunya di berbagai negara bagian. Namun pemakzulan kedua itu juga menciptakan dilema bukan saja bagi Partai Republik tetapi juga bagi sistem politik nasional Amerika Serikat, sekalipun majelis rendah Dewan Perwakilan Rakyat sudah mengirimkan berkas sidang pemakzulan kedua Trump kepada majelis tinggi Senat AS sehingga pemakzulan bisa segera mulai.
Berbeda dari pemakzulan-pemakzulan sebelum ini, termasuk pemakzulan pertama Trump pada 2019, sasaran yang dibidik adalah vonis bersalah Trump karena menghasut pendukungnya agar melakukan kerusuhan di gedung wakil rakyat di Capitol Hill di Washington DC pada 6 Januari yang menewaskan enam orang. Dengan cara ini Trump memiliki cacat politik permanen sehingga terlarang mencalonkan diri pada pemilu berikutnya.
Butuh dua pertiga suara atau 67 senator dari total 100 anggota Senat untuk menyatakan Trump bersalah. Dengan komposisi Senat saat ini 50 banding 50 antara Demokrat dan Republik, maka untuk menyatakan Trump bersalah diperlukan tambahan dukungan dari 17 senator Republik. Sepertinya saat ini bukan hal mustahil mengingat suara Republik tidak sepadu saat pemakzulan 2019. Di DPR awal bulan ini, 10 anggota DPR dari Partai Republik mendukung upaya Demokrat dalam memakzulkan Trump.
Skenario serupa bisa terjadi di Senat. Indikasinya terlihat pada sidang pleno sertifikasi hasil pemilu AS di sejumlah negara bagian medan pertempuran suara beberapa hari lalu di mana banyak senator Republik yang menolak gugatan pemilu curang dari Trump. Terlebih pemimpin Republik di Senat, Mitch McConnell, kabarnya mendukung pemakzulan Trump karena dengan cara ini Republik bisa menutup dampak beracun Donald Trump terhadap partai itu.
Republik tak lagi padu
Namun situasi terus berubah bahkan McConnell berbalik mengulur-ulur jadwal sidang pemakzulan, selain kian banyak saja senator Republik yang menentang pemakzulan karena dianggap sama dengan bunuh diri politik. “Saya kira pemakzulan ini kontraproduktif,” kata Senator Marco Rubio dari Florida. Sedangkan Senator Tom Cotton menyatakan Senat secara konstitusional tak berwenang menyidangkan mantan presiden.
Kubu Demokrat membantah argumen itu dengan menunjuk pemakzulan menteri perang pada 1876 ketika sang menteri sudah mengundurkan diri. Demokrat juga menyatakan adalah penting membuat perhitungan terhadap pendudukan gedung wakil rakyat Capitol yang pertama kali terjadi sejak Perang Saudara 1812, oleh para perusuh yang dihasut Trump ketika suara Electoral College tengah dihitung guna disertifikasi.
Senator-senator Republik yang mendukung pemakzulan seperti Mitt Romney menilai pemakzulan adalah langkah tepat karena Trump telah melakukan tindakan yang bisa dimakzulkan, sedangkan Senator Chris Coons menilai pemakzulan kedua ini sebagai kesempatan untuk menyingkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada 6 Januari itu.
Fakta baru kemudian muncul dari mantan menteri pertahanan Christopher Miller yang mengaku diperintahkan Trump agar menerjunkan pasukan dalam jumlah banyak ke Capitol, padahal yang diinginkan Miller dan pembantu-pembantu Trump saat itu adalah meminta pendukungnya tidak datang ke Capitol pada 6 Januari itu.
Miller merasa Trump merancang keadaan untuk menggagalkan sertifikasi kemenangan Joe Biden. Dan ini melanggar hukum. Senator-senator Republik pro-pemakzulan juga khawatir Trump akan terus mencederai partainya jika saluran dia ke Republik tidak segera ditutup, apalagi banyak tindakan Trump dianggap mereka tidak konstitusional sehingga membahayakan negara.
Sedangkan kelompok kemapanan di Republik berharap Trump dinyatakan bersalah sehingga tak bisa lagi mengikuti kontes politik sehingga Republik terbebas dari pengaruh Trump dan mengajukan calon lain empat tahun nanti. Namun demikian mereka menyadari Trump tetap terpopuler di kalangan pemilih Republik. Jajak pendapat NBC sendiri menunjukkan tujuh dari setiap delapan pemilih Republik tetap mendukung Trump.
Selain itu Trump juga menjadi vote-getter pada pemilu sela 2022 ketika semua anggota DPR menghadapi pemilu lagi. Pemilu sela atau midterm-election diadakan pada paruh pertama masa kekuasaan presiden AS untuk memilih kembali seluruh anggota DPR, dan juga 33 atau 34 dari total 100 anggota Senat, serta 36 gubernur dari total 50 gubernur di AS. Anggota Senat dipilih setiap enam tahun sekali, sedangkan seluruh anggota DPR dipilih setiap dua tahun sekali.@
ant/TimEGINDO.co