Batas Waktu PKWT Dalam UU Cipta Kerja Diuji Ke MK

Mahkamah Konsititusi
Mahkamah Konstitusi

Jakarta | EGINDO.co – Batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Undang Undang (UU) Cipta Kerja diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu dilansir pada laman resmi MK yang menyebutkan ada pemohon minta agar Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali.”

Permohonan perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan.

Artinya kata pemohon dalam persidangan seperti dikutip dari laman resmi MK bahwa sangat potensial sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang, maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja.

Leonardo Siahaan mengajukan pengujian norma Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang menyebutkan, “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.”

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan permohonan pengujian UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), Selasa 20 Juni 2023 lalu.

Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Pemohon mengatakan berusia produktif bekerja meskipun Pemohon belum bekerja, tetapi secara potensial Pemohon pasti bekerja. Pemohon menilai pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktunya dan berapa kali PKWT itu diperpanjang.

Hal itu tentu sangat rawan sekali mengingat pekerja merupakan pihak yang lemah, pihak yang sangat rentan sekali dan pengusaha powerfull. Ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun, bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali perpanjangan. Padahal kalau dilihat dalam UU Ketenagakerjaan yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali saja. Tetapi kalau Pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT itu diperpanjang.

Dalam permohonannya, menurut Pemohon kondisi itu perusahaan dapat seenaknya menetapkan jangka waktu PKWT. Terlebih lagi, pemberlakuan pasal tersebut dapat memperpanjang kembali dalam jangka waktu (sesuai) kemauan perusahaan tanpa repot-repot mengangkat. Secara umum pasal a quo mengatur tentang PKWT yang penyelesaiannya didasarkan pada dua keadaan yaitu jangka waktu selesai atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pemohon menjelaskan norma yang mengatur tentang hal serupa pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK).

Dalam permohonan pemohon membandingkan dengan norma-norma yang telah ada sebelumnya, Pemohon menegaskan dalam pasal a quo belum diatur batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sebagaimana diatur pada norma lain yang dijadikan pembanding oleh Pemohon,” demikian sebagian bunyi permohonan.

Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali.”

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Suhartoyo mengatakan meskipun Pemohon menekankan pandangan yang dibidik adalah kerugian potensial, tetapi harus tetap diberikan penguatan argumentasi kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal itu. Sedangkan Ketua Majelis Panel M. Guntur Hamzah menjelaskan MK dalam berbagai putusan sudah beberapa kali menguji persoalan seperti yang diajukan Pemohon.@

Mk/timEGINDO.co

 

Scroll to Top