Medan | EGINDO.co – Kini di Pasar Batu Gerigis Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara berdiri Tugu Nol Kilometer peradapan yang diresmikan Presiden Indonesia, Joko Widodo. Bagi penulis selaku putra kelahiran kota tua Barus tidak menjadi hal yang istimewa bahkan ada kekhawatiran tugu itu bisa bernasib sama seperti bangunan yang dahulu ada di lokasi itu, lenyap dihantam debur ombak Samudra Indonesia.
Semoga kekhawatiran itu tidak menjadi kenyataan, sebab sewaktu penulis masih kanak-kanak di lokasi Tugu Nol Kilometer Peradapan Islam itu berdiri banyak bangunan, termasuk Masjid Raya Barus yang lenyap dihantam debur ombak Samudra Indonesia akibat abrasi laut. Kemudian ketika penulis remaja, deburan ombak Samudra Indonesia menjauh dan jadilah pantai semakin luas serta berdiri lagi beberapa bangunan.
Mengapa Barus pintu masuk berbagai bangsa? Jawabnya karena hasil bumi Barus berupa kemenyan, kapur barus dan berbagai rempah-rempah untuk perdagangan masa lalu. Hal ini terjadi jauh sebelum Bangsa Belanda datang ke Indonesia. Barus sudah menjadi Bandar (Pelabuhan) internasional berbagai bangsa. Hal itu karena zaman dahulu hanya ada satu transportasi lewat lautan maka Barus yang berada di tepi Samudra Indonesia pulau Sumatera (dulu Pulau Andalas) menjadi pintu masuk ke Indonesia maka jadilah Barus sebagai kota pelabuhan.
Kini, sesungguhnya bila kita (Anda) berkunjung ke Barus dan menetap beberapa waktu di Kota Kecamatan Barus pasti tidak akan merasakan berada di sebuah kota tua yang pernah terkenal di dunia. Kita (Anda) akan merasakan berada di kota kecamatan yang sepi dan penduduknya hidup sebagai petani, nelayan, pedagang dan pegawai negeri sipil.
Para pengunjung dan masyarakat Barus tidak akan merasa berada di kota tua. Tidak ada pembeda dengan kota-kota kecamatan lain di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan Indonesia. Tidak ditemukan bangunan tua, yang ada bangunan rumah seperti sekarang dihuni masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Begitu juga kita (Anda) tidak akan merasakan berada di daerah pintu masuk Agama Islam ke nusantara.
Mengungkap Aulia 44 di Barus
Tidak merasakan berada di kota tua dan kota masuknya Agama Islam ke nusantara, pada hal bukti-bukti sejarah sangat menguatkan bahwa Barus merupakan daerah masuk dan berkembangnya Agama Islam.
Kota Kecamatan Barus sebagai bahagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah itu terdapat 44 titik lokasi makam para Aulia 44, satu diantaranya makam Syech Mahmud. Makam Aulia 44 di Barus menjadi saksi bahwa Agama Islam sudah lama ada di Barus. Hal itu karena para aulia itu adalah para tabi’in. Sedangkan tabi’in adalah sahabat, sahabatnya Nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa dibuktikan dari batu nisan makam Syech Mahmud ada menunjukkan tahun di batu nisan itu yakni tertulis dalam Bahasa Arab Persia dua huruf ‘ha’ dan ‘mim’ yang berarti 48 atau bisa jadi itu 48 Hijriah.
Andai tahun di batu nisan itu benar maka bisa dipastikan mereka merupakan sahabat, sahabatnya Nabi Muhammad SAW. Bila benar maka bisa membuktikan Agama Islam sudah ada di Barus atau di nusantara atau membuktikan Islam pertama kali masuk ke nusantara (waktu itu belum ada nama Indonesia) di Pantai Barat pulau Sumatera yakni di kota tua Barus.
Pada tahun 1978, sejumlah arkeolog dipimpin Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary telah melakukan penelitian terhadap berbagai nisan makam yang ada di sekitar daerah Barus dan menyimpulkan Agama Islam masuk melalui pantai Barat Sumatera di daerah Barus. Dari hasil penelitian terhadap makam-makam tua di Barus seperti pada nisan Syekh Rukunuddin, arkeolog yang juga pengajar di Universitas Airlangga Surabaya dan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Hasan Muarif Ambary, meyakini Islam sudah masuk ke Barus sejak tahun pertama Hijriah. Bila berpedoman pada batu nisan Syech Mahmud ada angka 48. Artinya waktu itu tahun 48 Hijriah. Begitu juga sejarawan Dada Meuraxa yang didukung sejumlah sejarawan lainnya seperti H. Mohammad Said (Pendiri Harian Waspada Medan) dan dikukuhkan dalam seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada 29-30 Maret 1983 di Medan menyimpulkan Barus merupakan daerah pertama masuknya Islam di Nusantara. Alasan dan pertimbangannya dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di Barus sekitarnya.
Belum Terungkap Semua Aulia
Kini Barus tidak menggambarkan sebuah kota tua maka butuh berbagai penelitian untuk memperkuat penyataan bahwa Barus itu merupakan sebuah kota tua dan mengukuhkan Tugu Nol Kilometer Peradapan Islam di Barus yang diresmikan Jokowi itu.
Berbagai penelitian tentang keberadaan Barus sebagai kota tua sangat dibutuhkan. Bagaimana sesungguhnya bentuk kota tua Barus itu. Mengapa makam Syech Mahmud berada pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut (dpl), menjadi teka-teki tentang geogarfis pantai barat Sumatera, khususnya kota tua Barus.
Dulu ketika penulis masih remaja berkunjung ke makam Syech Mahmud sangat sulit, harus mendaki bukit, menembus semakbelukar, bisa tersesat dan kalau hari hujan jalan setapak licin bisa tergelincir jatuh ke jurang.
Pada tahun 1982 atas prakarsa putra Barus Prof. Dr. Dachnel Kamars, MA, Guru Besar IKIP Padang yang sempat beberapa kali bertemu penulis di Medan mengungkapkan gagasannya untuk jalan atau tangga ke makam Syekh Mahmud. Akhinya, terbangun sebanyak 826 anak tangga yang sangat terjal menuju makam yang sampai kini ada dan dikenal dengan tangga seribu serta belum banyak perubahan dari tangga yang dibangun puluhan tahun lalu.
Seorang arkeolog dan ahli kaligrafi kuno Arab dari Prancis Prof. Dr. Ludwig Kuvi mengakui Syekh Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, merupakan ulama besar. Batu nisan menjadi pertanda sebab nisan seperti itu banyak ditemukan di India. Sementara itu sejarahwan Belanda Dr. Ph. S. Van Roenkel menyatakan Syekh Mahmud merupakan penyebar Islam pertama sekira 1.000 tahun lalu berhasil mengajak masuk Agama Islam Raja I etnis Batak, yakni Raja Guru Marsakkot.
Bagi masyarakat Barus mempercayai Syech Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, diperkirakan datang lebih awal dari Syech Rukunuddin, yakni pada 10 tahun pertama dakwah Rasulullah Muhammad SAW di Makkah dan diduga masih kerabat dan sahabat nabi membawa ajaran Islam Tauhid.
Berpedoman pada posisi makam-makam tua di Barus masyarakat Barus mempercayai duhulu Barus bukan seperti sekarang ini. Daratan Barus yang ada sekarang adalah rawa-rawa yang dalam. Seiring dengan perubahan ekologis, laut atau rawa-rawa itu menjadi daratan. Faktanya memang banyak ditemukan batu karang di daratan Barus bila dilakukan penggalian beberapa meter dari permukaan tanah.
Disamping Syech Mahmud penyebar Islam pertama, masih ada 43 Aulia lainnya yakni Syech Rukunuddin, Tuanku Batu Badan, komplek Bukit Hasang, Tuanku Ambar, Tuan Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Makhdum, Syech Zainal Abidin Ilyas, Syech Ahmad Khatib Siddiq, Imam Mua’azhamsyah, Imam Chatib Miktibai, Tuanku Pinago, Tuanku Sultan Ibrahim bin Tuanku Sultan Muhammadsyah, Tuan Digaung dan lainnya yang makamnya berada di Barus sekitarnya butuh penelitian tentang keberadaan makam-makam tua itu. Tegasnya 44 makam-makam tua di Barus butuh berbagai penelitian untuk mengungkap bagaimana Barus yang sesungguhnya tempo dulu dan agar Tugu Nol Kilometer Peradapan Islam yang diresmikan Jokowi itu menjadi bermakna, tidak sekadar tugu. Semoga.@
Bs/fd/timEGINDO.co