Bank Dunia: Harga Beras di Indonesia Mahal, Perpadi: Panjangnya Rantai Pasok

gabah kering panen
gabah kering panen

Jakarta | EGINDO.com – Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso mengatakan, mahalnya beras di Indonesia karena panjangnya rantai pasok. Ditambah sulitnya petani mendapatkan kebutuhan pupuk hingga benih unggulan.

“Nah saya biasa di lapangan, memang betul panjang (rantai pasok). Jadi dari petani itu, petani yang bekerja 4 bulan sudah mendapatkan pupuknya susah, ya kan, mendapatkan benih yang berkualitas juga susah, sehingga ada yang beli melalui online, online kualitasnya tidak jelas. Yang begini harusnya dikontrol, sehingga produktivitas terganggu,” katanya.

Sementara itu World Bank atau Bank Dunia mengatakan bahwa harga beras di Indonesia 20% lebih mahal daripada harga beras di negara-negara Asean. Bank Dunia juga menyebutkan bahwa rata-rata pendapatan petani Indonesia tidak sebanding dengan naiknya harga beras. Akibatnya, kata Country Director untuk Indonesia dan Timor-Leste, East Asia and Pacific dari World Bank Carolyn Turk, konsumen Indonesia harus membayar makanan mereka lebih mahal karena harga beras yang tinggi.

Baca Juga :  Pertemuan Musim Semi Bank Dunia-IMF Dengan Agenda Reformasi

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Country Director for Indonesia and Timor-Leste, Bank Dunia, Carolyn Turk membeberkan hasil survei yang menyebut harga beras di Indonesia tertinggi di ASEAN. Sedangkan kesejahteraan petani Indonesia paling jeblok.

“Kami memperkirakan bahwa konsumen Indonesia membayar hingga 20 persen lebih mahal untuk makanan mereka daripada yang seharusnya mereka bayar di pasar bebas,” katanya ketika memberi sambutan di acara Indonesia International Rice Conference 2024 yang berlangsung di Bali International Convention Center, Kamis (19/9/2024) lalu.

Menurutnya pada saat harga beras di Indonesia menjadi yang termahal, petani di Indonesia justru mendapatkan pendapatan yang rendah. Carolyn menyebut kebanyakan pendapatan petani marjinal seringkali jauh di bawah upah minimum sampai di bawah garis kemiskinan. “Bercocok tanam padi di Indonesia secara umum menghasilkan keuntungan yang cukup rendah. Hampir 87 persen petani Indonesia memiliki lahan kurang dari dua hektare dan dalam kelompok ini dua pertiganya memiliki lahan kurang dari setengah hektare,” katanya.

Baca Juga :  Mitsubishi - Stellantis Hentikan Produksi Di Pabrik Rusia

Merujuk hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, Carolyn mengatakan pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari satu dolar AS sehari atau 341 dolar AS setahun. Survei tersebut juga menyoroti bahwa pendapatan dari bercocok tanam tanaman pangan, khususnya padi, jauh lebih rendah daripada pendapatan dari tanaman perkebunan atau dari pertanian hortikultura.

Jadi katanya, keuntungan yang diperoleh dari bercocok tanam padi rendah. Di sisi lain, konsumen membayar harga beras yang tinggi. Harga beras di Indonesia bisa mahal karena sebagian disebabkan oleh beberapa kebijakan yang mendistorsi harga, sehingga menaikkan harga produksi dan melemahkan daya saing pertanian.@

Bs/timEGINDO.com

 

Bagikan :
Scroll to Top