Apresiasi Anak Menguatkan Semangat Menjadi Pegiat Sosial

Ina Madjidhan saat menjalani proses donor darah untuk pengambilan trombosit
Ina Madjidhan saat menjalani proses donor darah untuk pengambilan trombosit

Jakarta | EGINDO.co – Sosok seperti apa yang Anda harap dilihat dari diri Anda oleh keturunan Anda kelak? Bagi sebagian orangtua, penilaian anak terhadap sosok pribadinya tak akan pernah diketahui, karena memang topik seperti ini bukan hal yang umum dibicarakan antara anak-orangtua. Namun, bagi Ina Madjidhan, perbincangan selintas dengan sang anak membuat ia merasa bangga dengan kegiatan yang tak banyak dilakukan banyak orang, yakni menjadi seorang pegiat sosial. 

Siang hari di pertengahan Oktober, Ina berbicara di depan wartawan dan perkumpulan ibu mengenai kegiatannya. Ia berbicara dalam kapasitas nara sumber perempuan inspiratif. Ia, seperti 2 tamu lain yang duduk di panggung acara Sunlight Jeruk Nipis 100, yakni Ibu Uun dan Yulia Absari, dinilai mewakili sosok perempuan yang punya kekuatan cinta yang luar biasa terhadap sesama. Ketiganya, diapresiasi sebagai perempuan-perempuan inspiratif. 

Dalam suatu kesempatan, kepada Beritasatu.com, Ina menuturkan kisah dan kesahnya menjalani pilihan hidup menjadi pegiat sosial yang mendedikasikan 2×24 jam dalam seminggu untuk kegiatan kemanusiaan. 

“Saat ini, saya masih menjalani pekerjaan sebagai pengajar senam privat, hanya beberapa hari dalam seminggu saja. Tapi, setiap hari Selasa dan Kamis saya dedikasikan khusus untuk gerakan Berbagi,” tutur pendiri gerakan Berbagi ini.

Gerakan Berbagi, dijelaskan Ina, adalah sebuah gerakan sosial yang terdiri dari 4 bagian; Pangan (Gerakan Nasiku Nasimu), Pendidikan (Program Anak Asuh), Kesehatan (Donor Darah Trombosit), dan Tanggap Darurat (Bantuan untuk daerah bencana).

Gerakan Berbagi, kata Ina, bermula dengan Nasiku Nasimu, yakni program berbagi nasi bungkus kepada orang-orang kurang mampu di Jakarta, inilah yang menjadi cikal bakal berkembangnya berbagai gerakan sosial yang lain. 

“Awalnya, di suatu sore, di tahun 2010, usai shalat maghrib, saya merasa ingin membuat hidup saya lebih bermanfaat bagi orang lain. Kala itu saya merasa, semua ‘tujuan’ hidup yang dipatokkan oleh kebanyakan orang, yakni menjalani jenjang pendidikan ke pendidikan, menikah, lalu punya anak, sudah saya genapi. Lalu, apa? Di titik itu saya pikir, hidup harus lebih bergejolak. Harus ada gol baru. Lalu teringat kata-kata, ‘Dari tiap butir nasi yang diberikan kepada orang lain, ada keberkahan’. Maka muncullah gerakan ini,” tutur ibu dari seorang putri berusia 10 tahun ini. 

Menjalani kegiatan berbagi nasi bungkus ini membuka mata Ina mengenai kondisi masyarakat di sekitarnya. Hal ini memicunya menciptakan gerakan-gerakan lain tadi. “Setelah beberapa kali berbagi nasi bungkus di daerah kumuh, kami melihat, hal ini memicu ketergantungan, maka kami memutuskan mencari lokasi lain, yakni di rumah sakit dan panti sosial. Di sana, kami melihat banyak hal, seperti kebutuhan anak-anak yang sakit kanker yang butuh suplai donor darah trombosit, dari sana muncul kegiatan kesehatan Donor Darah Trombosit. Begitu pula dengan 2 kegiatan lain, karena kami melihat lingkungan sekitar membutuhkan uluran tangan,” tuturnya. 

Baca Juga :  BPS Beri Sinyal Ada Lonjakan Inflasi, Jelang Ramadhan

Dari 5 Menjadi 70
Dalam penuturannya kepada Beritasatu.com, jelas terlihat dari keseluruhan kegiatan rutin dan insidental yang dilakukan komunitas pegiat sosialnya, hal yang paling menyita perhatiannya adalah kegiatan donor darah trombosit. Awamnya, kegiatan sosial adalah kegiatan untuk membantu orang lain, seharusnya semua orang saling mendukung dan membantu. Namun, dari tuturnya, ia mendapat tekanan untuk menjalankan niat baiknya ini. 

Dijelaskan Ina, kegiatan donor darah yang ia lakukan bukan tipe biasa. Donor darah yang ia lakukan adalah untuk mengambil trombosit (lempeng darah), yang diperlukan untuk pembekuan darah, kekurangan sel-sel ini dapat menyebabkan perdarahan. 

“Donor darah trombosit di Indonesia tidak mudah. Dulu, saya sempat mencoba mendonorkan darah, tetapi ditolak karena berat badan saya kurang. Lalu saya berusaha cari pendonor lewat Twitter. Dua tahun lalu, saya hanya mendapat 5 orang pendonor. Saya ajak mereka untuk bertemu langsung anak-anak yang butuh donor darah trombosit, agar mendengar dan melihat sendiri kebutuhan-kebutuhannya,” katanya. 

Menurut Ina, ia kerap mengajak pendonor untuk bertemu langsung para anak yang dibantu agar punya motivasi untuk mendonor, karena kegiatan ini, tidak mudah.

“Menjadi pendonor darah trombosit itu sangat tidak mudah. Mereka harus cek darah dulu, diambil sampel, 12 jam kemudian baru ketahuan bisa menjadi pendonor atau tidak. Kalau sudah oke, baru bisa diambil darahnya. Prosesnya butuh 2 jam. Karena donor darahnya yang diambil adalah trombosit, bukan darah seperti awamnya. Jadi, prosesnya mirip cuci darah. Darah dialirkan ke mesin, diambil yang diperlukan, lalu yang sudah tak diperlukan dikembalikan lagi ke dalam tubuh oleh mesin tadi. Darah keluar masuk. Sulit untuk pekerja di kota seperti Jakarta melakukan donor ini. Proses ditambah waktu di jalan sudah menghabiskan setengah hari,” tuturnya. 

Setelah 2 tahun memulai gerakan donor darah ini, kini ia memiliki sekitar 70 sukarelawan yang aktif mendonorkan trombositnya setiap dua minggu. Sayangnya, saat ini, kegiatan manusiawi itu terpaksa terhenti karena oknum-oknum tertentu. 

Terkendala “Oknum-oknum”
Dijelaskan Ina, satu kantong darah berisi trombosit harganya mencapai Rp3,5 juta. Untuk anak-anak yang mengalami perdarahan, akan butuh setidaknya 2 kantong dalam sekali transfusi, walau tidak tentu. Gerakan Berbagi adalah kumpulan orang sosial, bukan yayasan, sehingga tidak ada acara penggalangan dana. 

“Kalaupun ada dana, itu dari kami sendiri yang aktif mengumpulkan uang, dari orang-orang yang memang tahu kiprah kami. Anak-anak yang kami bantu biasanya juga dibantu oleh yayasan sosial lain. Yayasan ini akan membayar ke PMI untuk pencarian darah. PMI adalah lembaga yang resmi boleh mengambil darah. Kami ada di tengah, kalau ada permintaan, kami akan tarik [darah], tidak harus bayar apa pun ke pendonor. Semua pendonor harus ikut aturan yang ketat. gerakan Berbagi hanya mau sesuai aturan, agar layak. Artinya, donor darah hanya mau dilakukan di unit donor darah PMI. Nah, kalau tidak dilakukan selain di UDD, ada uangnya. Termasuk pendonor yang meminta imbalan. Gerakan Berbagi hanya mau di UDD PMI, kalau tidak, kami menolak. Karena hal itu, kami dipotong jalannya. Si oknum-oknum berupaya menghalangi donor darah kami. Akhirnya kini kami terpaksa berhenti dulu,” kata Ina. 

Baca Juga :  Rupiah Terkoreksi, Melemahnya Eskpektasi Suku Bunga the Fed

Menghadapi kendala-kendala pahit, bagi Ina, adalah sebuah pelajaran. Baginya, ini pelajaran kejujuran.

“[Suka]-relawan harus jujur memahami keadaan sosial di Indonesia seperti apa. Enggak semua orang mau jujur bicara bahwa urusan donor darah di Indonesia ini ujungnya duit. Kita harus jujur dan berani bilang ini urusannya duit untuk sebagian kalangan. Menjadi komoditas. Kalau tidak jujur, nasib donor darah di Indonesia akan tetap seperti sekarang atau tambah parah,” katanya. 

Menjadi Pegiat Sosial, Persoalan Prioritas Hidup
Ketika ditanya sudah berapa orang yang menjadi anggot perkumpulan sosialnya, Ina menjawab, ada ratusan, namun, yang konsisten tidak banyak. Untuk donor darah, sekitar 70 orang yang aktif, jumlah yang sama untuk pegiat khusus pendidikan yang terdata. Namun, untuk kegiatan rutin bulanan, menurut Ina, yang datang biasanya hanya 20-an orang, itu pun bergantian. Seleksi alam, simpulnya. 

“Kami percaya, setiap orang punya peran masing-masing yang diberikan Tuhan. Jadi, sama, kami sebagai pegiat sosial, tidak semua orang seperti kami. Tidak semua orang ingin membiarkan hati terbuka untuk hal-hal yang bikin menangis. Saya tak menyalahkan orang untuk mau menjadi penonton saja.  Tetapi kami tetap akan menyuarakan kalau sedang butuh orang, supaya mereka yang ingin bantu bisa datang. Kami akan membantu mereka memahami aturan-aturan dalam menjalani kegiatan sosial. Dari kegiatan itu, mereka akan lihat sendiri. Delapan puluh persen dari mereka biasanya akan datang kembali untuk kegiatan berikutnya. Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan, mereka akan bertahan berapa lama?” katanya.

Padahal, katanya, “Berbagi itu simpel banget. Apakah kita ingin membuka diri untuk membantu orang lain, atau membiarkan orang lain dan haya memikirkan diri sendiri? Itu pertanyaannya.”

Pemilihan prioritas hidup adalah kendala utama untuk orang-orang yang enggan berkegiatan sosial, kata Ina. “Mengajak orang untuk berbagi dengan orang lain kayak main silat. Kalau bikin kegiatan sosial di hari kerja, kilahnya, harus kerja. Kalau hari libur, alasannya harus bersama teman atau keluarga. Padahal, waktu kan kita yang atur dan jalani. Kendala terbesarnya, sebenarnya adalah belum tahu prioritas atau prioritas yang egosentris. Padahal, manfaat kegiatan sosial menurut saya, jauh lebih besar dirasakan oleh pelaku kegiatan sosial ketimbang yang menerima bantuan,” ungkapnya.

Manfaatnya untuk Si Pemberi
Seiring berjalan menjadi pegiat sosial, Ina merasakan manfaat untuk dirinya, ia menjadi kian luwes serta lebih banyak berterima kasih.

“Saya makin luwes menempatkan diri, pekerjaan, keluarga, dan orang lain. Yang pasti, saya pastikan dulu diri saya cukup. Itu saya buktikan dengan tidak dibantu asisten rumah tangga dan supir. Baju bisa tetap rapi, rumah juga begitu. Saya bisa buat kegiatan sosial sejajar dengan kehidupan saya yang lain. Tak banyak yang harus dikorbankan, saya melakukannya dengan membuat kesepakatan-kesepakatan dengan orang-orang di sekitar saya, seperti anak, suami, dan orangtua,” katanya yang mengaku setiap hari berkunjung ke rumah ibunya sembari antar-jemput anak, serta kadang mengajak anaknya ke RS meski tidak bertemu anak-anak yang sakit.

Baca Juga :  Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Hari Ini

Selain keluwesan, Ina mengaku menjadi lebih banyak bersyukur, padahal dulu ia sering mengeluh. Anak-anak kurang beruntung yang ia temui dan bantu malah menjadi sosok penyemangat hidupnya. 

“Sekarang saya melihat kehidupan yang saya punya sudah sangat cukup. Setelah melihat anak-anak ini, saya rasakan hal itu. Contoh, kami juga membantu kelompok anak-anak dengan cacat ganda telantar. Mereka ada yang ditinggalkan di kuburan, di taksi, bahkan di rel kereta api supaya terlindas, dan ini semua dilakukan oleh orangtua mereka. Pilu, kan mendengarnya? Lalu melihat bagaimana anak-anak yang melawan rasa sakit di RS  berjuang karena ingin terus hidup, mengapa kita tidak? Tidak pantas saya mengeluhkan hidup. Merekalah inspirasi saya, termasuk para ibu yang menunggui anaknya yang sakit di RS,” jelasnya. 

Apresiasi Paling Berharga
Terpilihnya Ina sebagai salah satu sosok inspiratif oleh Sunlight, dianggapnya sebagai pengakuan, sekaligus salurannya menularkan semangatnya. 

“Kegiatan ini menjadi apresiasi dan prestasi. Setiap manusia kan butuh pengakuan, untuk identitas diri. Saya tersanjung dan senang untuk apresiasi ini. Tetapi sebenarnya, apresiasi terbesar adalah melihat hasil kegiatan kita. Melihat orang yang kita ajarkan itu bisa berdiri. Melepaskan mereka dengan doa, berbekal apa yang kita ajar, itu sungguh apresiasi yang lebih besar. Seperti, saat mengajarkan para ibu yang menunggui anaknya di RS cara membuat rajutan gelang untuk dijual. Gol saya untuk terlibat ajang ini adalah agar makin banyak orang yang mau lebih peka dengan kehidupan sekitar.  Belajar menempatkan diri di orang lain. Karena hidup itu seperti roda. Akan ada masa kita membutuhkan bantuan orang lain,” tuturnya.

Di akhir perbincangan, Ina sempat menuturkan apresiasi terbesarnya justru datang dari anak, dengan mata berkaca-kaca ia bercerita, “Pernah suatu siang, anak saya melihat tayangan di komputer tentang Justin Bieber yang berkunjung ke rumah sakit. Waktu itu Bieber berkunjung ke kamar perawatan anak-anak dengan penyakit kanker untuk menghibur. Anak saya bilang, ‘He’s just like you’. Itu momen yang sangat berharga untuk saya. That’s the only thing that matters. Kalau saya harus ‘pergi’ besok, tak apa, karena saya sudah tahu, anak saya melihat saya sebagai sosok yang baik.”

 

Sumber: beritasatu

Bagikan :
Scroll to Top