Antara Berdagang dan Pendidikan Formal Eka Tjipta Widjaja

Sekolah ELS atau sekolah dasar tahun 1930 (Foto: Sumber Tropenmuseum)
Sekolah ELS atau sekolah dasar tahun 1930 (Foto: Sumber Tropenmuseum)

Mengenang Lima Tahun Meninggalnya Eka Tjipta Widjaja

Oleh: Fadmin Malau

BEBERAPA bulan di Makassar pada tahun 1930, Eka Tjipta Widjaya yang masih berusia 9 tahun tetapi sudah tidak ingin bersekolah sebagaimana dengan anak-anak seusianya yang pada bersekolah. Kala itu usia Eka Tjipta Widjaja sudah melewati usia sekolah dasar. Tidak mungkin lagi Eka Tjipta Widjaja harus duduk di bangku kelas satu.

Eka Tjipta Widjaja tidak memiliki keinginan untuk bersekolah akan tetapi keinginan besarnya adalah ingin membantu ayahnya berjualan. Sang ayah waktu itu sedang bertahan hidup dengan membangun usaha, membuka toko secara kecil-kecilan karena ketiadaan modal. Berusaha bertahan hidup dan berjuang bagaimana caranya bisa membayar utang kepada rentenir. Oei Tjek Tjai, ayah Eka Tjipta Widjaja berupaya dengan membuka toko sederhana agar dapat segera membayar utang kepada rentenir sebanyak 150 dollar. Bagi ayah Eka Tjipta Widjaja uang 150 dollar itu jumlahnya banyak dan tidak mudah mendapatkan uang sebanyak itu. Namun, dengan semangat juang yang tinggi dan memiliki keyakinan yang kuat Oei Tjek Tjai yakin akan dapat melunasi utangnya.

Eka Tjipta Widjaja yang kala itu masih berusia kanak-kanak mengetahui hal itu dan dapat merasakan kesusahan yang dialami ayahnya sehingga membuat minatnya untuk bersekolah padam, berganti dengan keinginan membantu ayahnya berjualan, berdagang agar bisa segera melunasi utang ayahnya.

Berbeda dengan sang ayah, lebih memilih anaknya Eka Tjipta Widjaja untuk bersekolah seperti anak-anak seusia Eka Tjipta Widjaja. Keinginan sang ayah mendapat kendala, anaknya harus bersekolah tetapi kala itu Eka Tjipta Widjaja kecil hanya bisa berbicara dalam Bahasa Hokkian. Kendala lainnya, usia Eka Tjipta Widjaja telah lebih dari 9 tahun akan tetapi jika mau masuk sekolah harus memulai dari kelas satu.

Baca Juga :  UE Rencanakan Larangan Minyak Rusia; Ukraina Diserang

Kalau harus mulai dari kelas satu sementara Eka Tjipta Widjaja usianya sudah lebih dari 9 tahun sementara anak-anak di kelas satu umurnya 7 tahun. Eka Tjipta Widjaja tidak mau dan malu. Hebatnya Eka Tjipta Widjaja bermohon agar jangan mulai dari kelas satu karena melihat dari umurnya sudah harus duduk di kelas tiga. Eka Tjipta Widjaja bermohon langsung kepada Kepala Sekolah, dia memohon sambil terus memegang kedua kaki Kepala Sekolah, menyembah, menciumi kaki Kepala Sekolah itu sehingga permohonannya, permintaan Eka Tjipta Widjaja dikabulkan dengan syarat harus mengikuti tes terlebih dahulu.

Eka Tjipta Widjaja ketika masih remaja, tampil elegan

Tidak ada pilihan lain, mau tidak mau harus mau memenuhi syarat yang diberikan Kepala Sekolah. Ketika ditest ternyata kemampuan Eka Tjipta Widaja masih terbatas, tidak sesuai dengan usianya, dinilai masih tertinggal dari umurnya maka harus memulai dari kelas satu, Eka Tjipta Widjaja tidak mau bersekolah karena malu satu kelas dengan anak-anak yang tidak seusia dengan dirinya. Sang ayah, Oei Tjek Tjai terus berusaha membujuk Eka Tjipta Widjaja agar mau bersekolah meskipun harus dimulai dari kelas satu. Bujukan sang ayah gagal, sebaliknya membuat Eka Tjipta Widjaja semakin menggebu-gebu ingin membantu ayahnya berdagang. Keinginan Eka Tjipta Widjaja untuk ikut berjualan diterima sang ayah Oei Tjek Tjai akan tetapi Eka Tjipta Widjaja kecil harus bersekolah. Tidak ada pilihan bagi Eka Tjipta Widjaja yakni bersekolah dan membantu ayahnya berjualan.

Oei Tjek Tjai sang ayah, akhirnya memasukkan Eka Tjipta Widjaja ke sekolah Tionghoa Makassar. Melalui bantuan teman Oei Tjek Tjai akhirnya keinginan Eka Tjipta Widjaja bisa terwujud. Eka Tjipta Widjaja bisa langsung duduk di bangku kelas tiga, tidak harus memulai dari kelas satu karena alasan umurnya sudah melebihi untuk kelas satu maka bisa langsung duduk di kelas tiga. Kembali Eka Tjipta Widjaja ingin membantu ayahnya berjualan secara penuh. Eka Tjipta Widjaja tidak ingin melanjutkan sekolah, memilih berdagang di kota Makassar, bekerja menjajakan barang-barang yang ada di toko ayahnya.

Baca Juga :  IKPP Tangerang Mill Salurkan Wakaf Al Quran Bagi Anak Saleh Indonesia

Menurut Soegijanto Padmo dalam bukunya berjudul, “Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda” bahwa kota Makassar pada tahun 1938 menjadi kota besar kedua di luar Jawa. Hal itu terbukti dengan adanya sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia. Kemudian kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mulai berkembang dinamis. Kota Makassar ketika itu menjadi kosmopolitan.

Kondisi kota Makassar kala itu membuat naluri bisnis Eka Tjipta Widjaja tercipta, menggebu-gebu, bersemangat, jiwanya bergelora. Eka Tjipta Widjaja belum tammat Sekolah Dasar dan menurut ayahnya harus terus bersekolah sampai tammat. Eka Tjipta Widjaja belajar di sekolah menjadi perhatian gurunya sebab Eka Tjipta Widjaja tampil berbeda dengan teman-teman sekelasnya. Suatu ketika gurunya pernah jengkel melihat Eka Tjipta Widjaja karena sikapnya yang berlawanan, tidak mau mengikuti urutan pelajaran terutama pelajaran berhitung tambah, kurang, bagi dan kali. Pasalnya pelajaran berhitung tambah, kurang, bagi dan kali menurut Eka Tjipta Widjaja kurang tepat sebab hasilnya tidak akan cukup. Harusnya menurutnya dimulai dari kali, tambah, kurang dan bagi. Eka Tjipta Widjaja menilai tidak adil kalau belum apa-apa sudah dikurangi dan dibagi akhirnya mana cukup nanti hasilnya.

Akhirnya tamat Sekolah Dasar (SD) Eka Tjipta Widjaja tidak mau bersekolah formal lagi. Sang ayah Oei Tjek Tjai terus membujuk dengan memberikan gambaran, orang bersekolah itu agar bisa bekerja. Eka Tjipta Widjaja tidak yakin dengan gambaran yang diberikan sang ayah. Dalam hati Eka Tjipta Widjaja berkata, “Saya harus bisa bekerja tanpa sekolah. Kalau siang untuk sekolah maka tidak bisa bekerja. Bagaimana jika siang untuk bekerja dan malam untuk sekolah.”

Keinginannya untuk bisa bersekolah pada malam hari sulit diwujudka, rasanya tidak mungkin sebab tidak ada sekolah pada malam hari. Namun, Eka Tjipta Widjaja tidak menyerah begitu saja, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Sesuatu hal yang belum pernah terpikirkan oleh banyak orang kala itu, tetapi oleh seorang Eka Tjipta Widjaja kecil telah memikirkannya. Soal pelajaran berhitung tambah, kurang, bagi dan kali menurutnya kurang tepat sebab hasilnya tidak akan cukup. Dibuktikannya, harusnya dimulai dari kali, tambah, kurang dan bagi. Pendapatnya itu diwujudkan dengan yang belum pernah terpikirkan oleh banyak orang kala itu. Hasilnya harus cukup, jangan tidak cukup. Kalau belum apa-apa sudah dikurangi dan dibagi mana cukup nanti hasilnya. Eka Tjipta Widjaja kecil menciptakan inovasi baru yakni pada siang hari dirinya harus bekerja dan pada malam hari sekolah.

Baca Juga :  Pernyataan Kontroversial BKN Soal TWK KPK

Bila bekerja maka akan menghasilkan uang. Hasil kerja yang menghasilkan uang itu bisa untuk memanggil, membayar guru. Akhirnya dengan adanya uang, Eka Tjipta Widjaja belajar pada malam hari di rumahnya dengan seorang guru yang dibayar untuk mengajarinya di rumah pada malam hari. Secara pendidikan formal, ijazah yang dimilikinya hanya ijazah SD tetapi ilmu pengetahuannya tidak hanya SD. Eka Tjipta Widjaja sama ilmu pengetahuannya dengan tamatan SMA dan memiliki nilai plus pengalaman kerja. (BERSAMBUNG besok bagian kelima)

***

Bagikan :
Scroll to Top