Jakarta | EGINDO.co – Agama merupakan kekuatan yang mengintegrasikan jika kita menghargai keberagaman dan merupakan kekuatan yang memisahkan jika kita gamang dengan keberagaman. Semua memiliki tanggung jawab yang sama memelihara dan menjaga agar keberagaman tidak dipandang sebagai penghalang hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Umat beragama tidak pernah beranjak dari pendirian iman bahwa agama yang dianut adalah untuk kebaikan hidup bersama (samen leven), tapi kadang kala (ever once in a while) selalu diiringi dengan berbagai paradoks, sehingga ajaran agama tentang kebaikan hidup menjadi berbeda dengan praktik keagamaan (religious); sering kali (many’s the time) kesucian agama dicemari oleh sikap vandalisme; dan keluhuran agama adakalanya dijadikan alat untuk mengejar hedonisme pribadi atau komunitas pemeluknya. Akibatnya dalam berbagai aspek kehidupan, sebagian pemeluk agama tak dapat menjadikan agama sebagai sumber inspirasi dalam memproduksi berbagai kearifan untuk kepentingan bersama.
Emile Durkhein (1912) mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik-praktik yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang dibolehkan dan dilarang. Definisi lainnya dikemukakan oleh Anthony Wallace (1966), menurutnya agama adalah jenis perilaku yang dapat digolongkan sebagai kepercayaan dan ritual yang bersangkutan dengan makhluk, kekuasaan dan kekuatan supernatural. Stephen K Sanderson (1991) mengemukakan bahwa suatu sistem kepercayan dan praktik dapat disebut agama jika selalu mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang berada di atas dan dibalik dunia sehari-hari, yang dapat diketahui, dan alamiah. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), agama adalah kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan kepada Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan yang dimaksud mengandung pengertian bahwa agama di negara Indonesia adalah suatu sistem kepercayaan yang memiliki ajaran jelas, memiliki nabi dan memiliki kitab suci.
Pendekatan empiris agama yang dimaknai sebagai suatu sistem kepercayaan yang “harus” memiliki ajaran jelas, memiliki nabi dan memiliki kitab suci adalah definisi yang merugikan penganut kepercayaan atau agama lokal lainnya. Kerugian yang dimaksud adalah tidak adanya perlindungan, kepercayaan yang mereka yakini tidak diakui sebagai agama yang sah, tetapi dianggap bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku, sehingga pengikutnya mendapat perlakuan diskriminatif dan “dipaksa” untuk menganut agama yang sudah diakui.
Kerinduan mencari surga dan Tuhan merupakan harapan semua orang. Siapa pun kita, dia atau mereka memiliki kerinduan yang sama. Semua agama tujuan akhirnya adalah menuju surga, mendekatkan diri dan takut akan Tuhan. Namun ada umat yang gamang, jika semua umat masuk surga; di dalam alam pikiran sempitnya, dia atau umat lainnya nanti tidak akan kebagian tempat di surga. Akibatnya, surga dan Tuhan telah menjadi sengketa intern umat beragama, atau antar umat beragama, dan atau umat beragama dengan dirinya sendiri, yang mengklaim bahwa surga dan Tuhan hanya miliknya.
Kiblat (orientation) kita lahir di dunia ini bukan ke arah suatu suku, agama, ras atau ke golongan tertentu, tetapi ke dalam hidup yang rukun dan damai, hidup yang bebas dari ketakutan dan kekurangan, bebas melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Semua memiliki hak dan tanggung jawab untuk mencegah dan memberi pencerahan kepada orang-orang yang menggunakan kekerasan atas nama agama, atau mengorbankan agama dengan cara atas nama agama. Jika benih teror atas nama suku, agama, ras dan golongan terus ditumbuhsuburkan dan kekerasan terus dipromosikan, kemungkinan bangsa Indonesia akan terpecah belah seperti Uni Soviet, atau tinggal dikenang seperti kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.
Siapa pun dan agama apa pun memiliki tanggung jawab untuk membangun Indonesia yang bersinar sebagai sumber kebebasan dalam beribadah sesuai dengan agama yang diyakini. Kita harus bangun Indonesia yang toleran; Indonesia yang tidak menuntut orang yang toleran agar bersikap toleran terhadap orang yang intoleran.
Sejak awal reformasi tahun 1998 sampai kini, pengekangan atas nama agama kian mengkhawatirkan. Aksi radikalisme bertopeng kesucian agama tak kenal lelah menebar kegamangan. Seakan-akan telah menjadi model Indonesia baru di era reformasi bahwa agama adalah musuh modernitas dan demokrasi. Bahkan intern agama atau antara agama dengan agama saling menjatuhkan dan meruntuhkan jika ada yang pro modernitas dan demokrasi.
Disadari atau tidak, bangsa Indonesia saat ini diperhadapkan pada masalah tata agama dan tata hukum. Tata agama menuntut kesucian dan kebenaran; tata hukum menuntut keadilan dan kebenaran. Dari kedua tata etika dan moral ini yang sering terefleksi dalam tindakan adalah hal yang sebaliknya, yaitu perilaku umat yang egois, brutal, anarkis dan hidup yang tidak sesuai dengan tata agama dan tata hukum. Sebagian umat mungkin lebih suka menganut agama tanpa tuntutan moral dan hukum tanpa keadilan. Sikap hidup yang seperti ini tergambar dalam perilaku umat yang kehidupannya mudah rapuh, main hakim sendiri, senang melakukan kekerasan dan penganiayaan; melanggar hukum tanpa kuatir dijatuhi hukuman; menyimpang dari ajaran agama dengan cara melakukan kejahatan dan kekerasan tanpa kuatir bahwa itu adalah dosa yang upahnya adalah maut; mereka tidak menyadari bahwa datangnya maut itu mungkin bukan sekarang ditimpahkan, tapi nanti; mungkin bukan ditimpahkan pada diri sendiri tapi pada anak-cucu atau pada banyak orang dan atau ditimpahkan pada wilayah tertentu yang familiar dengan kekerasan atas nama agama.
“Kelompok intoleran di tanah air terbilang baru. Mereka tidak termasuk elemen bangsa pada masa pergerakan mendirikan negara Indonesia. Karena itu, mereka tidak berkepentingan dengan nilai-nilai luhur yang ditanamkan pendiri bangsa. Mereka memaksakan isi kepala mereka dengan justifikasi kaku, “Pokoknya!” Aksi vandalisme yang mereka lakukan merebak dengan aneka macam format seperti jaringan ini dan itu, gerakan anti ini dan itu dengan menggunakan kekerasan,“ ujar Alissa Wahid, koordinator Gus Durian.
Indonesia adalah tempat berbaurnya orang dari berbagai suku, agama, ras dan budaya; semuanya memiliki tanggung jawab untuk membangun Indonesia yang tidak kaya kebencian dan kekerasan, tapi Indonesia yang murah hati dan tidak mengorbankan kebebasan dasar, dan umatnya tidak menggunakan keyakinan sebagai alat pemisah untuk memecah-belah persatuan bangsa.
Semua orang, siapa pun dia, pasti tidak akan menyerah meraih kebebasan dalam menjalankan ibadah. Hal ini ada di dalam kitab suci masing-masing agama bahwa semua manusia diciptakan sama dan setara. Semua pemeluk agama memiliki kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah. Satu atau lebih agama bukan tawanan kekejaman dan penderitaan yang diakibatkan oleh pemeluk agama yang membelokkan kebenaran dan keadilan.
Sikap skeptis dan ketidakpercayaan bahwa keyakinan agama yang berbeda tidak mungkin membentuk ikatan persaudaraan, adalah pandangan sempit dari orang-orang yang hanya berpikir sepihak tanpa menghargai sesama yang lain untuk berbagi masa depan bersama. Semua agama yang ada di Indonesia baik yang diakui maupun belum diakui, adalah bagian integral dari Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika; yaitu Indonesia yang seluruh elemen bangsanya memiliki tanggung jawab membangun solidaritas, kebaikan, kasih dan pengorbanan bagi semua.
Di Tiongkok dikenal ungkapan: langit adalah ayah, bumi adalah ibu, semua mahkluk hidup di antara keduanya bersaudara. Ungkapan yang senada juga diungkapkan oleh Lao Tzu bahwa jalan menuju surga adalah jika kita hidup harmonis dengan sesama manusia dan alam. Kalimat yang hampir sama juga diungkapkan Dr. Sam Ratulangi yang berbunyi Si Tou Timou Tumou Tou, yang artinya manusia hidup untuk menghidupi sesama manusia yang lain.
Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia tidak memiliki karakter yang bermusuhan dengan agama. Indonesia ada karena pemeluk agama yang berbeda mengakui bahwa kepentingan bersama pada awal terbentuknya bangsa Indonesia seperti saling percaya dan saling menghormati jauh lebih baik dan lebih kuat daripada sikap intoleran yang memisahkan. Karena itu, kita harus menolak apa yang ditolak oleh semua ajaran agama dan umat beragama, yakni kekerasan, pembunuhan, pelarangan beribadah dan berbagai bentuk diskriminasi terhadap orang lain yang berbeda agama dan keyakinan.
Kita harus bersatu menghadapi rasa cemas dan bahaya dari orang-orang yang menodai kesucian agama, dan orang-orang yang tidak menjadikan agama sebagai sumber inspirasi untuk melihat kepentingan bersama yang lebih besar, atau bagi orang-orang yang menjatuhkan martabat agama sebagai alat pemukul demi kepentingan sempit dan berjangka pendek; kita harus memberitahukan kepada mereka bahwa hanya harapan dan kebaikan yang dapat bertahan dalam lintas waktu dan sejarah.
Juga kita harus beritahukan kepada mereka bahwa agama tidak menciptakan medan perang, sehingga harus ada yang kalah dan ada yang menang, atau ada yang diusir dan terusir. Agama adalah pewaris kehidupan dan ketabahan dalam menghadapi kemelut hidup serta memberi kebaikan dan pencerahan kepada orang jahat agar dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. Menghukum, membenci, dan mencederai orang yang berbeda keyakinan dengan kita adalah dosa, dan semuanya bukan ajaran agama, tetapi keinginan duniawi umat beragama yang dibalut kesucian agama.
Penulis tidak melihat ada orang yang memperoleh keuntungan dan memang tidak akan ada keuntungan ketika seseorang atau sekelompok orang membisniskan agama yang diyakininya, apalagi agama yang diyakininya dipahami sebagai senjata untuk memusuhi keyakinan yang berbeda. Negara maju, kaya dan kuat bukan negara yang agamanya homogen, tetapi negara yang agamanya heterogen dan memberi ruang bagi demokrasi menemukan kekuatan dan keagungannya untuk menjembatani perbedaan dan bersatu dalam usaha bersama.
Persatuan bangsa Indonesia yang beragam dan keutuhan NKRI yang besar hanya bisa terjaga dan terpelihara bila kita tidak menjadikan Pancasila hanya sekedar pilar bangsa tapi sebagai dasar negara. Sebab tak ada dasar negara yang pas bagi bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, etnis dan budaya selain Pancasila (yang digali oleh para the founding fathers dari budaya asli Indonesia) untuk membendung peradaban asing (Arab dan Barat), dan mencegah terjadinya diskriminasi agama dan primordialisme.
Semua agama di republik ini berjuang bersama membangun bangsa Indonesia; sama darah dan sama-sama berdarah; dan sebagian dari mereka yang telah memenangi hati dan pikiran, cinta, kesetiaan dan kepercayaan telah meninggal di bawah bendera merah putih yang sama. Mereka tidak berjuang atas nama agama masing-masing, tetapi berjuang dan mengabdi untuk Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Indonesia adalah bangsa yang religius. Mampukah keyakinan pemeluk agama yang diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu) dan agama yang belum diakui menghargai keberagaman? Atau justru menjadi ancaman bagi keberagaman? Jika praktik keagamaan masih tetap menjadi ancaman bagi keberagaman, apa yang harus kita lakukan sebagai umat beragama untuk mencegahnya? Salah satu jawabannya adalah menjadikan keberagaman sebagai sebuah kesadaran yang produktif bagi toleransi dan untuk kerja sama kemanusiaan.
Saat ini, dignitas (martabat) keberagaman seiring dengan perkembangan dan perubahan politik, sosial, hukum, ekonomi, dan budaya menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Gangguan yang sering terdengar di antaranya adalah suara-suara yang memekakkan telinga dan keinginan dari individu atau kelompok yang memiliki tafsir tunggal dengan cara tidak menghargai keberagaman.
Usia bangsa Indonesia yang sudah 67 tahun merdeka, seharusnya membuat seluruh elemen bangsa bukan waktunya lagi berpikir gamang karena keberagaman, tapi nyatanya masih ada individu atau kelompok yang terus berpeluh lelah menentang keberagaman. Mereka harus kita yakinkan dengan kebenaran bahwa bangsa Indonesia yang beragam adalah Bhinneka Tunggal Ika, karena tak ada kebenaran yang mendua.
Keberagaman (diversity) suku, agama, ras dan antar golongan adalah kekayaan dan kekuatan bangsa Indonesia, bukan kelemahan (debility). Keberagaman (diversity) adalah keindahan, bukan merupakan pertentangan ketegangan dan perdebatan. Di dunia mana pun, keberagaman tetap ada dan selalu selaras (harmonic) dengan kemajuan. Siapa yang merasa tergannggu dengan keberagaman berarti tidak menghargai HAM dan tidak ingin hidup berdampingan secara harmonis.
Menurut John Naisbitt dalam bukunya yang berjudul Global Paradox (1994: 32) hanya 10 persen negara-negara di dunia homogen secara etnis. Misalnya di Amerika Selatan terdapat 100 kelompok bahasa yang berbeda; di Uganda dan Gabon terdapat 40 kelompok etnis; di Kenya terdapat 40 kelompok etnis; di Zaire terdapat lebih dari 200 bahasa yang digunakan; di Indonesia terdapat 300 kelompok etnis yang tinggal di 3.000 pulau. Semuanya bisa menyatu karena sisi sentuhan tinggi (high-touch) manusia, yaitu kedamaian dan pengertian terjaga dan terpelihara.
Indonesia adalah negara yang disatukan oleh keberagaman. Keberagaman bangsa Indonesia sangat unik, merupakan sumber kekuatan dan sampai kapan pun tidak akan punah dari bumi Indonesia. Kebesaran bangsa Indonesia karena keberagaman. Ini adalah fakta dan data. Kita dibutakan dari kebenaran jika tidak menghargai keberagaman. Sebab bangsa Indonesia bukan hanya sekumpulan golongan agama, suku, ras dan kelompok, namun bangsa Indonesia lebih besar daripada perbedaan agama, suku, ras dan kelompok, dan lebih besar daripada kepentingan sempit, sesat dan sesaat.
Bangsa Indonesia yang didiami beragam suku, agama dan ras tidak akan mengikuti jejak sejarah Sriwijaya dan Majapahit jika kita terus menaburinya dengan kerendahan hati dan kesanggupan untuk menahan diri. Kerendahan hati , mawas diri dan kesanggupan menahan diri merupakan senjata paling kuat untuk melemahkan dan mematahkan semangat orang-orang yang anti kemanusiaan dan tidak percaya bahwa keberagaman adalah ciptaan Tuhan. Jika kita menghargai keberagaman, batas-batas pemisah antara “luar” dan “dalam” akan runtuh dengan sedirinya lalu menyatu dalam penerimaan dan ketulusan yang holistik.
Sejak awal reformasi penolakan terhadap keberagaman begitu keras disuarakan. Keberagaman oleh mereka yang gamang (afraid) dijauhi dan ditakuti, lalu dimusuhi. Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia pada tahun 2006 dikeluarkan dari kurikulum pendidikan dasar dan menengah karena dianggap mengekang kebebasan kelompok yang anti keberagaman. Menyikapi ketakutan yang dibuat-buat dan berlebihan ini, mayoritas masyarakat Indonesia lintas suku, agama, ras dan golongan sangat prihatin, karena sesungguhnya yang dibutuhkan bangsa Indonesia bukan mengekang kebebasan agama dan melenyapkan keberagaman, tetapi kehidupan yang bermartabat dan berpengharapan, kehidupan yang aman dan berkeadilan.
Bangsa Indonesia adalah tempat semua hal yang berbeda, bukan hanya tempat untuk satu suku, satu agama, satu golongan atau satu ras, tetapi tempat untuk Indonesia yang beragam suku, agama, ras dan golongan. Semua keberagaman ini membuat bangsa Indonesia kaya, tapi bukan semua ini yang membuat Indonesia kuat, besar dan dikagumi oleh dunia luar; yang membuat kita kuat dan besar adalah semangat semua umat beragama untuk bersatu, hidup rukun dan menghargai keberagaman.
Keberagaman bukan ancaman yang harus dijauhi dan ditakuti, justru keberagaman merupakan kekuatan yang telah dicemburui bangsa lain. Keberagaman bangsa kita yang diformulasikan dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai filosofi bahwa kita semua adalah satu bukan satu untuk semua. Kalau kita masih berhalusinasi (be seeing things) dengan keyakinan bahwa satu untuk semua, berarti kita memberi ruang bagi sebagian suku, agama dan etnis tidak mengakui adanya keberagaman.
Tinggal kita pilih! Jika kita memilih satu untuk semua; ini artinya kita mengejar mimpi-mimpi pribadi yang dibumbui kepentingan bersama dan atas nama agama. Sebaliknya jika kita memilih semua adalah satu; ini artinya kita percaya pada kebenaran ajaran masing-masing agama bahwa kita semua diciptakan setara dan dianugerahi hak untuk hidup, hak memeluk suatu agama dan sejumlah hak dasar lainnya yang tidak bisa diambil, dikekang dan diancam oleh siapa pun.
Kegamangan atas agama yang berbeda merupakan tembok pemisah yang membuat jarak antarsesama pemeluk agama, dan kemungkinan jaraknya kian lebar jika kita tidak mengambil tanggung jawab bersama menciptakan suasana hidup rukun dan damai.
Masa depan bangsa Indonesia bukan milik kegamangan. Juga bukan milik orang yang menawarkan kebencian dan kehancuran, dan bukan milik mereka yang menyukai kekerasan dan gemar mempromosikan konflik , dan yang mendistorsi iman; sesungguhnya mereka adalah orang yang mendeskriditkan dan mengisolasi diri mereka sendiri. Tanpa sadar sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang membuat surga sebagai tempat yang tidak aman bagi mereka. Kekuatan untuk mematahkan semangat mereka adalah memberikan harapan bahwa masa depan bangsa Indonesia adalah masa depan mereka juga; bangsa Indonesia hanya milik orang-orang yang membangun kehidupan, bukan milik perusak kehidupan.
Kegamangan atas keberagaman agama adalah ancaman bagi demokratisasi. Implikasinya membuat agama sangat sulit menjadi terompet moral dalam berbagai dimensi kehidupan, sehingga yang akan terjadi dan saat ini sudah terjadi pada sejumlah daerah adalah praktik keagamaan yang memukul demokrasi.
Agama sebagai basis moral merupakan kekuatan utama dan terdepan mengatasi kegamangan umatnya. Ibarat obat, agama adalah obat moral bagi umatnya. Tak ada ajaran agama yang menebar rasa takut terhadap sesama yang berbeda agama atau yang berbeda keyakinan; semua ajaran agama mengajarkan kebaikan hidup dan rasa takut kepada Tuhan sebagai permulaan pengetahuan. Orang yang takut akan Tuhan pasti mencintai sesama dan menyadari bahwa Tuhan yang tidak beragama adalah milik semua agama. Tuhan menciptakan manusia termasuk keyakinan terhadap agama tidak ada yang sama. Hanya satu yang sama, yaitu sifat baik Tuhan pada semua ciptaan-Nya; selebihnya sangat beragam. Siapa yang tidak menghargai keberagaman, ia menentang ciptaan Tuhan. Bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, ras, dan etnis bukan dibangun atas dasar primordialisme, tetapi atas dasar penderitaan yang sama (sense of common suffering).
Berbagai pernyataan yang bernada gamang telah menciptakan ketegangan dan ketidaknyamanan umat beragama. Dikotomi ada agama langit dan bumi, larangan boleh tidaknya rumah ibadah berdiri di suatu tempat, berizin atau tidak, diberi izin lalu dicabut atau dibatalkan, adalah bukti nyata bahwa orang percaya terus dijauhkan dari Tuhan oleh orang-orang atau kelompok yang gamang dengan keberagaman. Gedung GKI Yasmin yang disegel dan jemaatnya dilarang beribadah adalah contoh vulgar tentang tindakan dan perbuatan sekelompok kecil orang-orang yang intoleran terhadap keberagaman. Martabat jemaat GKI Yasmin tidak lagi dihargai dan keamanan mereka tidak terjaga.
Sejak awal reformasi sampai kini, bangsa kita terus disugukan kata-kata kemarahan dan perselisihan hanya karena berbeda keyakinan dan beragam. Ada yang menyerah pada kegamangan dan frustasi. Akankah kita menolak kekerasan dan main hakim sendiri atas nama agama, lalu patuh pada aturan hukum (rule of law)? Ataukah kita menghindari diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak serupa atau tidak seagama dengan kita dan memperlakukan mereka sama dengan diri kita sendiri? Kekuatan dan kebesaran bangsa kita bukan berasal dari kekuatan satu suku, satu agama, satu ras atau satu golongan, tetapi kekuatan yang terdasyat bangsa kita bila kita mampu menghargai keberagaman (diversity) suku, agama, ras, budaya dan golongan.
Menabur rasa takut siapa pun dapat melakukannya dan tidak perlu banyak orang, tetapi untuk menciptakan hidup rukun dan damai tidak hanya menjadi karya satu orang, atau satu agama, satu suku, atau satu etnis tertentu, tapi merupakan karya banyak orang yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan etnis.
Orang atau kelompok yang gamang dengan keberagaman tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan bagi orang lain, tetapi sesungguhnya ia atau mereka gamang dengan diri mereka sendiri. Kegamanangan mereka akan sirna seperti lampu atau kompor yang kehabisan minyak bila kita dapat meyakinkan mereka bahwa adalah hak setiap suku, agama, ras, dan etnis untuk hidup dengan martabat dan keamanan.
Kini, saatnya sudah tiba untuk menyadari bahwa kekerasan atas nama agama adalah sebuah jalan buntu. Menyalahkan dan memusuhi keberagaman dengan menggunakan agama demi kepentingan diri sendiri atau kelompok terjadi karena kita mendefinisikan diri siapa yang akan kita lawan bukan apa yang menjadi tujuan kita bersama. Tujuan kita bersama adalah meraih masa depan bangsa Indonesia yang rukun, damai dan sejahtera.
Konflik yang berulang-ulang terjadi yang berbalut agama bukan dikehendaki oleh agama dan bukan pula oleh umat beragama, tapi dikendaki oleh pihak yang ingin Indonesia disharmoni; mereka umumnya adalah pihak yang berlindung dalam kesucian agama; mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan modal budaya untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan; juga tidak memiliki kepekaan dan kesetiakawanan sosial; yang ada pada mereka hanyalah keluh, rasa kecewa dan kegamangan yang penuh kecurigaan pada setiap hal yang baik.
Sumber: beritamanado