Jakarta|EGINDO.co Pemerhati masalah transportasi dan hukum, Budiyanto, menegaskan bahwa salah satu tujuan utama registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor (ranmor) adalah untuk mencapai ketertiban administrasi. Menurutnya, ketertiban administrasi ini sangat penting sebagai landasan bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, terutama di sektor transportasi.
Budiyanto menjelaskan bahwa data riil mengenai kendaraan bermotor sangat bermanfaat untuk mengetahui secara pasti ekosistem terkait, termasuk kontribusi pajak kendaraan bermotor sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Melalui registrasi kendaraan bermotor yang akurat, kita dapat menilai tingkat disiplin masyarakat dalam membayar pajak dan memenuhi kewajiban lainnya,” ujarnya.
Namun demikian, Budiyanto menyayangkan, dari data yang ada, sekitar 39 hingga 40 persen kendaraan bermotor tidak melakukan pengesahan atau membayar pajak. Padahal, pembayaran pajak merupakan kewajiban yang pada akhirnya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk hasil pembangunan dan layanan publik.
“Sejalan dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, masa berlaku STNK dan TNKB adalah lima tahun, yang harus disahkan setiap tahun bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa rendahnya tingkat pengesahan kendaraan bermotor, yang mencapai 39 hingga 40 persen, menimbulkan pertanyaan tentang besarnya pajak terhutang yang belum masuk ke kas daerah. Hal ini, menurutnya, juga mengindikasikan rendahnya disiplin sebagian masyarakat dalam memenuhi kewajiban pajak tahunan mereka.
Budiyanto menekankan bahwa pajak kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan atau penguasaan kendaraan, sehingga tidak ada alasan seperti jarang digunakan untuk menghindari pembayaran pajak. Sebagai konsekuensi logis, pemilik kendaraan wajib membayar pajak kendaraan bermotor.
Mantan Kasubdit Bin Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya ini juga menggarisbawahi bahwa meskipun pemerintah daerah telah berupaya memberikan relaksasi pembayaran pajak dan penghapusan biaya Bea Balik Nama (BBN) kendaraan bermotor, namun pelaksanaannya belum seragam di seluruh daerah dan belum mampu mendorong kepatuhan masyarakat yang menunggak pajak.
“Relaksasi tersebut belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesadaran dan disiplin masyarakat dalam membayar pajak,” ungkapnya.
Budiyanto menyarankan agar pemerintah mengambil langkah-langkah yang lebih tegas, mulai dari sosialisasi, kebijakan relaksasi, hingga penagihan dari pintu ke pintu. Selain itu, tindakan yang lebih keras seperti penyitaan kendaraan bagi STNK yang tidak sah dan penghapusan data kendaraan dari daftar registrasi juga perlu diterapkan.
Ia menambahkan bahwa penyitaan kendaraan dapat dilakukan sesuai dengan Pasal 32 PP Nomor 80 Tahun 2012 tentang Pemeriksaan dan Penindakan Kendaraan Bermotor, di mana pengemudi yang tidak dapat menunjukkan STNK yang sah dapat dikenakan sanksi. “Dalam peraturan yang sama, juga diatur bahwa pemilik kendaraan yang tidak melakukan pengesahan dua kali berturut-turut setelah masa berlaku STNK habis, dapat dihapus dari daftar registrasi kendaraan bermotor,” tandasnya.
Budiyanto menegaskan, “Langkah-langkah yang soft dan hard sebenarnya sangat mungkin dilakukan karena regulasinya sudah ada. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan komitmen kuat untuk melakukan penertiban serta memberikan sanksi tegas terhadap pemilik kendaraan yang tidak melakukan pengesahan dan tidak membayar pajak kendaraan bermotor.”
Dengan penertiban dan sanksi yang tegas, diharapkan ketertiban administrasi kendaraan bermotor dapat tercapai, serta kontribusi pajak yang optimal bagi pembangunan daerah dapat terwujud. (Sn)