Oleh: Waliadi, ed. Jaka Anindita
Bagi masyarakat ulayat Suku Anak Dalam (SAD) yang hidup dan beraktivitas sesuai kearifan mereka yang nomadik atau hidup dengan berpindah tempat di kawasan tepi hutan Provinsi Jambi, penyediaan akses bagi anak-anak usia sekolah tentu membutuhkan intervensi tersendiri. Tantangan bukan hanya berada di sisi mereka. Lembaga pendidikan yang berkomitmen menerima mereka selaku murid peserta didik juga mengalami tantangan yang tak kalah uniknya.
Upaya Sekolah Dasar Eka Tjipta Sungai Air Jernih di Desa Pauh, Kabupaten Sarolangun mempertahankan kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak SAD menjadi satu contohnya. Kini sekolah itu hanya menyisakan dua siswa asal SAD, setelah rekan-rekannya meninggalkan sekolah karena menjalani tradisi melangun atau berpindah tempat tinggal bersama keluarga mereka.
“Kadang kami merasa haru melihat keadaan seperti ini. Sekolah ini menerima siswa dari berbagai kalangan termasuk Suku Anak Dalam setiap tahunnya, namun di tengah tahun ajaran berlangsung terkadang kami kehilangan beberapa siswa yang berpindah tempat tinggal. Khusus siswa Suku Anak Dalam, dari puluhan siswa yang pernah kami ajar, kini hanya tinggal dua anak. Tapi ini tidak menyurutkan semangat kami. Selama siswa tersebut masih masuk sekolah dan mau belajar, kami akan terus mengajar,” kata Kepala Sekolah SD Eka Tjipta Sungai Air Jernih, Listina Martini.
Sepanjang sejarahnya, sekolah ini pernah mendidik tak kurang dari 25 siswa asal Suku Anak Dalam. Pada dasarnya langkah mendidik mereka tidak sama dengan yang biasa dilakukan ke siswa lain. Seperti dikisahkan oleh seorang guru, Elfira yang telah mendedikasikan diri di SD Sungai Air Jernih sepanjang 12 tahun.

“Mengajar siswa Suku Anak Dalam memiliki tantangan tersendiri di mana kami terlebih dulu harus membangkitkan rasa percaya diri mereka agar tidak minder dan percaya diri mengikuti proses pembelajaran. Kendala yang kerap dialami siswa adalah tidak masuk sekolah dalam waktu yang lama karena mereka ikut melangun bersama orang tuanya. Tapi kami percaya, pendidikan adalah kunci agar mereka bisa beradaptasi tanpa meninggalkan identitasnya. Kedua anak yang tersisa ini adalah harapan kami. Mereka adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik bagi komunitas mereka,” ujar Elfira berkomitmen.
Sementara seorang dari dua siswa yang masih melanjutkan sekolahnya, Davit Leno siswa kelas 6 berusia 14 tahun mengungkapkan keinginannya untuk dapat terus bersekolah. “Saya suka belajar membaca dan berhitung. Saya mau pintar supaya bisa membantu Bapak dan Ibu,” ucapnya.
Eka Tjipta Foundation (ETF) sebagai lembaga yang melakukan pendampingan kepada setiap sekolah kelolaan Sinar Mas Agribusiness & Food seperti Sekolah Dasar Eka Tjipta Sungai Air Jernih, mencoba menyikapi dinamika ini dengan bijak. Advisor ETF yang adalah praktisi pendidikan, Edi Sadono merekomendasikan agar fokus pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dapat beralih ke sistem pendidikan yang lebih fleksibel.
“Peran pendidikan bagi Suku Anak Dalam sangat vital, tidak hanya untuk literasi, tetapi juga untuk membantu mereka menghadapi perubahan lingkungan. Kita perlu sistem pendidikan yang adaptif dan berbasis komunitas, yang bisa diakses meskipun mereka berpindah-pindah. Anak-anak ini harus tetap terjangkau oleh cahaya ilmu,” jelasnya.
Saat ini pihak sekolah tetap mendaftarkan nama para siswa asal Suku Anak Dalam yang masih ada ke dalam sistem Data Pokok Pendidikan sekolah mereka. Manakala mereka harus ikut melangun, kapan saja aktivitas ulayat itu selesai, keduanya dapat kembali melanjutkan ke bangku sekolah. Intervensi seperti yang disarankan, hanya dapat berdampak jika dilakukan bersama-sama oleh para pemangku kepentingan terkait. Mulai dari pihak sekolah di garda terdepan, pihak yayasan, dinas pendidikan setempat hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Bersama-sama merumuskan kebijakan yang lebih adaptif dan berkelanjutan, sehingga hak pendidikan anak dapat terpenuhi. Bagi anggota komunitas ulayat, tentunya tanpa mengabaikan kearifan lokal dan budaya mereka.@
***