Pertamina Harapan Semua Orang, Penting Transisi Energi, Terapkan Aspek ESG

Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di jalan lintas Sumatera Kecamatan Porsea Kabupaten Toba, Sumatera Utara (Foto: Fadmin Malau)
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di jalan lintas Sumatera Kecamatan Porsea Kabupaten Toba, Sumatera Utara (Foto: Fadmin Malau)

Oleh: Ir. Fadmin Malau

Marudut Simanjuntak (42) seorang supir angkutan kota (Angkot) di kota Medan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) ketika diajukan pertanyaan kepada dirinya. Apa itu Pertamina? Langsung Marudut Simanjuntak yang akrab disapa dengan bang Juntak menjawab, “Galon Minyak.”

Galon Minyak dalam bahasa anak Medan adalah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang merupakan tempat kendaraan bermotor mengisi bahan bakar dari beberapa jenis yakni Pertalite, Pertamax, Solar, Pertamax Turbo, Dexlite dan lainnya.

Ketika ditanyakan lagi apa pendapat bang Juntak tentang SPBU atau “Galon Minyak”? Langsung mengatakan selalu membuat kesal. Menurutnya SPBU selalu buat masalah akan tetapi mau tidak mau harus datang juga ke SPBU karena mobil angkutannya harus diisi Bahan Bakar Minyak (BBM). “Mobil ini kan pakai minyak, harus ke galon minyaklah bang supaya bisa berjalan angkot ini. Kalau mobil tidak berjalan, tidak bisa cari sewa dan kita tidak bisa dapat duit,” kata Marudut Simanjuntak dengan bahasa logat Medan.

Bukan saja Marudut Simanjuntak, beberapa orang supir angkot lainnya yang ditanya mengatakan hal yang sama. Supir angkot di Medan sebagian besar berkomentar negatif dan penuh keluhan. Alasan mereka mengeluh karena masalah di SPBU berdampak langsung kepada penghasilan para supir angkot dan berujung kepada kesejahteraan mereka.

Keluhan para supir angkot itu yakni sering mengantre berjam-jam untuk mengisi bahan bakar bersubsidi yang menghabiskan waktu produktif supir untuk mencari penumpang. Stok BBM bersubsidi sering habis pada satu SPBU sehingga para sopir angkot terpaksa mencari SPBU lain atau membeli bahan bakar non-subsidi yang lebih mahal yang mengurangi penghasilan mereka. Keluhan kebijakan penggunaan kode QR untuk pembelian BBM bersubsidi dan pembatasan waktu pengisian, dinilai menyulitkan dan tidak efisien oleh sopir angkot.

Bagi banyak supir angkot di Medan menganggap SPBU itu sama dengan Pertamina. Ketika ditanyakan lagi tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) para supir angkot mengeluh tentang adanya isu kenaikan harga BBM bersubsidi yakni Pertalite dan Solar karena isu itu bagi para sopir angkot sangat menakutkan. Alasannya kenaikan harga BBM membuat pendapatan supir angkot berkurang karena biaya operasional meningkat, sedangkan tarif angkot sulit dinaikkan. Jika tarif angkot dinaikkan, penumpang menjadi sepi dan jika tidak dinaikkan, tidak bisa menutupi biaya BBM dan setoran.

Harapan Rakyat Indonesia

Ketika ditanyakan kepada masyarakat tentang Pertamina beragam harapan yang muncul. Dari beragam harapan kepada Pertamina, masyarakat umumnya mengharapkan Pertamina menjadi perusahaan yang dapat menyediakan pasokan energi merata di seluruh pelosok negeri dengan harga terjangkau oleh semua masyarakat Indonesia.

“Secara psikologi BBM itu menyangkut hajat orang banyak maka pasti menginginkan pengelolanya menjadi entitas bisnis yang bersih, transparan, dan profesional. Ketersediaan dan distribusi energi yang merata dimana Pertamina sebagai perusahaan BUMN yang menguasai sektor energi, masyarakat berharap Pertamina dapat menjamin ketersediaan energi, terutama bahan bakar minyak dan gas, di seluruh wilayah Indonesia,” kata Sri Rejeki Khairunnisak seorang mahasiswi Fakultas Psikologi pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di kota Medan.

Menurutnya distribusi yang merata mutlak dilakukan dengan memastikan tidak ada kelangkaan termasuk di daerah terpencil maupun wilayah yang sulit dijangkau karena menyangkut hajat hidup manusia. Masyarakat berharap harga BBM dan gas yang ditetapkan Pertamina terjangkau dan tidak membebani rakyat.

Dipastikan akan menjadi masalah besar ketika ibu-ibu rumah tangga tidak mendapatkan pasukan gas LPJ tiga kilogram sementara gas LPJ itu sangat dibutuhkan untuk memasak. Untuk itu kata Sri Rejeki Khairunnisak maka Pertamina dalam operasionalnya harus memberikan pelayanan prima dan kualitas produk terjamin.

Bukan hanya seorang mahasiswi akan tetapi banyak warga masyarakat pengguna kendaraan bermotor juga mengharapkan Pertamina terus meningkatkan layanan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan titik penjualan lainnya. Masyarakat membutuhkan jaminan produk yang dibeli sudah sesuai spesifikasi dan tidak dioplos yang menimbulkan kekhawatiran masyarakat seperti isu BBM oplosan.

Masyarakat Indonesia secara umum mengharapkan transparansi dan tata kelola yang bersih. Harapan rakyat Indonesia agar Pertamina beroperasi dengan tata kelola yang baik dan transparan. Kasus-kasus korupsi melibatkan oknum di Pertamina harusnya tidak ada, masyarakat berharap tidak ada penyalahgunaan wewenang dan pengelolaan yang merugikan negara.

Masyarakat menantikan Pertamina beroperasi secara efisien, sehingga keuntungan yang dihasilkan bisa lebih maksimal dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi kas negara, baik melalui dividen, pajak, maupun PNBP. Pertamina diharapkan berperan sebagai pemimpin dalam transisi menuju energi lebih bersih dan berkelanjutan. Untuk itu Pertamina harus mewujudkan mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) agar mengurangi dampak lingkungan dalam operasionalnya.

Harga Terjangkau, Transisi Energi, Terapkan Aspek ESG

Pertamina sebagai perusahaan berkelanjutan, menjadi pemimpin dalam transisi energi, inovasi untuk mencapai dekarbonisasi, dan aspek Environment, Social, Governance (ESG) yang merupakan satu aksi total quality dari satu perusahaan yang menjadi pendorong bagi perusahaan menetapkan prinsip lingkungan (Environment), prinsip sosial (Social), dan prinsip Tata Kelola (Governance) secara konsisten dan berkomitmen.

Pertamina adalah perusahaan negara menangani tentang energi harus berkomitmen menjadi perusahaan energi berkelanjutan menuju harmoni masyarakat dan lingkungan serta membangun ekonomi lokal dengan melakukan aksi lingkungan (Environment), sosial (Social), dan tata kelola (Governance) dalam mencapai tujuan memastikan operasionalnya dilakukan secara bertanggungjawab, berkelanjutan, serta menciptakan keseimbangan dan manfaat positif bagi masyarakat Indonesia.

Melakukan ESG dalam industri energi dengan lingkungan yang berkesinambungan, menerapkan inklusivitas dan membangun relasi yang baik dengan menerapkan tata kelola (Governance) yakni Good Corporate Governance (GCG), etika bisnis, transparansi fiskal, dan kepatuhan terhadap hukum dan regulasi. Penerapan ESG menjadi sangat penting dalam hal mitigasi risiko finansial yang timbul dan hal itu berkaitan dengan kepercayaan rakyat Indonesia sebagai konsumen. Untuk itu maka kontribusi pembangunan berkelanjutan harus ada dan terdepan dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Adanya pencapaian SDGs membuat kepercayaan publik membaik dan memperkuat sektor energi di Indonesia.

Harga BBM yang rendah, terjangkau menjadi impian masyarakat dan para pelaku usaha. Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai menjadi solusi jangka panjang. Untuk itu Pertamina berkomitmen meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi nasional dan memperkuat infrastruktur agar pasokan BBM tetap terjaga dan murah.

EBT menjadi solusi jangka panjang sebab pemberian subsidi BBM untuk membuat harga BBM rendah hanya solusi jangka pendek. Pemanfaatan EBT adalah potensi Pertamina untuk menurunkan biaya operasional dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil yang lebih mahal.

Sementara itu ketika acara Green Energy Summit 2025 pada Selasa 23 September 2025 lalu yang digelar di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta ada sebanyak 15 narasumber yang sangat kompeten pada bidang energi hijau (green energy) tampil membedah masa depan energi hijau dalam kaitannya dengan target Net Zero Emission (NZE) 2060 dengan bertajuk Transisi Energi yang Adil: Menjaga Bumi, Menyejahterakan Rakyat.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung yang membuka acara Green Energy Summit 2025 itu mengatakan pemerintah tidak bisa bergerak sendiri dalam proses transisi energi menuju net zero emission (NZE), namun perlu juga adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, seperti pelaku usaha, investor, akademisi, masyarakat dan juga media. “Dengan adanya Green Energy Summit 2025 ini, kami mengharapkan tentu kita perlu melakukan kolaborasi dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca melalui penggunaan energi fosil dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT),” kata Yuliot.

Untuk mewujudkan semuanya itu, kata kuncinya, Pertamina beroperasi dengan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance) dan transparan. Masyarakat menantikan Pertamina berperan sebagai pemimpin dalam transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Masyarakat menunggu langkah-langkah nyata dari kinerja Pertamina untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dan mengurangi dampak lingkungan dari operasionalnya yang akan meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Pertamina. Semoga.@

***

Penulis adalah wartawan media online EGINDO.com

Scroll to Top