Oleh: Sharfina Haslin
KESEHATAN ibu hamil merupakan cerminan kualitas generasi bangsa. Salah satu persoalan penting di Indonesia adalah masih tingginya angka anemia pada ibu hamil. Data Riskesdas 2018 menunjukkan hampir separuh ibu hamil mengalami anemia, dan di Sumatera Utara angkanya masih di atas 40 persen. Kondisi ini meningkatkan risiko bayi lahir rendah, komplikasi persalinan, hingga gangguan tumbuh kembang anak.
Sebagai langkah perbaikan, pemerintah meluncurkan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) bagi ibu hamil dan anak sekolah. Kebijakan ini merupakan bagian dari Asta Cita Presiden 2024–2029, terutama dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan keluarga Indonesia. Program ini juga mendukung Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan 2 (Zero Hunger) dan 3 (Good Health and Well-being).
Namun, di balik semangat kemanusiaan ini, muncul beberapa tantangan yang perlu dilihat dari sudut etika kesehatan masyarakat. Tantangan pertama adalah pemerataan akses. Tidak semua ibu hamil memiliki kesempatan yang sama untuk menerima bantuan, terutama di wilayah terpencil. Prinsip keadilan sosial mengingatkan bahwa kebijakan publik harus memastikan pemerataan manfaat, bukan sekadar pemerataan program.
Tantangan kedua adalah akurasi dan transparansi data penerima. Dalam praktiknya, program sosial seringkali menghadapi kendala pendataan. Pendekatan digital, misalnya integrasi dengan aplikasi kesehatan ibu hamil, dapat membantu memastikan bantuan tepat sasaran dan transparan.
Tantangan ketiga berkaitan dengan pendampingan yang humanis oleh tenaga kesehatan. Petugas gizi, bidan dan kader posyandu tidak hanya berperan menyalurkan bantuan, tetapi juga membangun hubungan empatik dengan ibu hamil. Etika pelayanan publik mengingatkan bahwa angka capaian tidak boleh menggeser makna kemanusiaan dalam pendampingan.
Selain itu, program gizi perlu diintegrasikan dengan edukasi dan pemantauan kesehatan. Pemberian makanan bergizi tanpa edukasi konsumsi zat besi atau pemeriksaan Hb tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan anemia. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa intervensi gizi yang disertai pendampingan edukatif dapat menurunkan anemia secara lebih konsisten.
Semua catatan ini bukan kritik, melainkan bentuk refleksi dan dorongan untuk memperkuat kebijakan yang sudah baik. Di Sumatera Utara, misalnya, banyak komunitas yang memiliki potensi lokal dalam penyediaan pangan bergizi mulai dari olahan ikan, sayuran hijau, hingga sumber zat besi alami. Kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat lokal dapat menjadikan program MBG lebih kontekstual dan berkelanjutan.
Dengan menempatkan prinsip etika, keadilan, dan bukti ilmiah sebagai dasar pelaksanaan, program Makanan Bergizi Gratis berpeluang menjadi salah satu langkah strategis menuju generasi Indonesia yang sehat dan berdaya saing. Upaya ini selaras dengan semangat Asta Cita dan SDGs, sekaligus mengingatkan bahwa kebijakan kesehatan masyarakat terbaik adalah yang berpihak pada martabat manusia dan masa depan anak bangsa.@
***
Penulis adalah mahasiswa pogram studi (Prodi) doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin