Effendy Simbolon Dorong UHN Medan Gunakan Aksara dan Bahasa Batak di Lingkungan Kampus

Para narasumber dan peserta seminar internasional Budaya Batak di UHN Medan berfoto bersama
Para narasumber dan peserta seminar internasional Budaya Batak di UHN Medan berfoto bersama

Medan | EGINDO.com – Kementerian Kebudayaan RI, Kementerian Pariwisata RI dan Kedutaan Besar AS bersama Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan menggelar seminar internasional secara langsung dan daring bertajuk “Quo Vadis Manuskrip dan Artefak Batak”.

Seminar yang berlangsung di Kampus UHN Medan belum lama ini, diikuti para akademisi, peneliti dan pemerhati budaya dan mengundang nasasumber dari luar dan dalam negeri. Demikian siaran pers UHN Medan, pada Senin (29/9/2025). Menteri Pariwisata RI Widyawati Putri Wardhana dalam sambutannya mengatakan, budaya adalah kekayaan bangsa yang memiliki nilai-nilai kearifan.

Ketua Yayasan UHN Medan, Effendi MS Simbolon, mengatakan, pelestarian budaya bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan secara instan, melainkan harus dimulai dari pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu langkah konkret, sebut Effendi, dengan membiasakan penggunaan bahasa Batak dalam percakapan sehari-hari, minimal 10–15 menit, khususnya di lingkungan kampus.

“Saya mendorong seluruh sivitas akademika Universitas HKBP Nommensen untuk aktif terlibat dalam upaya revitalisasi budaya ini. Salah satunya adalah dengan mulai menggunakan aksara Batak dalam penamaan tempat, ruang, atau petunjuk arah di area kampus,” kata Effendi.

Peneliti asal Italia Dr Giuseppina Monaco menjelaskan penelitiannya terhadap 25 naskah Batak yang kini tersimpan di Italia. Naskah itu terdiri dari 10 naskah kayu dan 15 naskah bambu. Naskah-naskah tersebut, sebut Giuseppina, awalnya dibawa oleh Elio Modigliani, seorang penjelajah abad ke-19, dari kawasan Nias Selatan ke Italia.

Dr Giuseppina menekankan bahwa pustaha Batak menyimpan pengetahuan yang kaya, mulai dari nilai etika, praktik spiritual, hingga aspek kehidupan sosial masyarakat Batak, sebut penelitian yang sedang menerjemahkan buku “Batak yang Merdeka” ini.

Peneliti Jerman Dr Roberto Zollo memaparkan, tentang koleksi artefak Batak yang berada di Jerman Utara. Disebutkannya, koleksi itu mencakup ratusan objek budaya, termasuk naskah dengan berbagai media seperti kayu, tulang, dan kertas kayu. Beberapa di antaranya digunakan dalam praktik ramalan masa depan.

Dr Zollo menegaskan pentingnya rekonstruksi dan digitalisasi naskah sebagai langkah strategis dalam upaya pelestarian. Menurutnya, digitalisasi bukan hanya melestarikan artefak yang rapuh, tetapi juga membuka akses akademik lintas negara.

Kepala Pusat Dokumentasi & Studi Budaya Batak UHN Medan, Menguji Nababan SS MA menjelaskan pentingnya revitalisasi budaya Batak melalui pendekatan berbasis naskah dan artefak.

Dikatakan Manguji, Batak termasuk satu dari sepuluh etnis di Indonesia yang memiliki tradisi aksara sendiri, dengan garis sejarah dari aksara Brahmi, Palawi, Kadanga, hingga Batak.

Manguji menyoroti fakta bahwa sekitar 90% naskah Batak saat ini tersimpan di luar negeri, tersebar di 16 negara. Kondisi ini membuat akses terhadap warisan budaya Batak menjadi terbatas.

Manguji mendorong percepatan digitalisasi, termasuk inovasi seperti tersedianya keyboard Aksara Batak di Playstore yang dapat digunakan generasi muda untuk berinteraksi dengan warisan budaya tersebut.@

Rel/fd/timEGINDO.com

Scroll to Top