Kemenkeu dan BI Sepakati Skema Berbagi Beban Bunga SBN untuk Asta Cita

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua kiri) didampingi Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa (dari kanan), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Ja​sa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar memberikan pemaparan pada konferensi pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Senin (28/7/2025).

Jakarta|EGINDO.co Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Bank Indonesia (BI) mengumumkan kesepakatan untuk menerapkan skema burden sharing atau pembagian beban bunga atas pembelian Surat Berharga Negara (SBN) guna mendukung pembiayaan program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

Dalam keterangan bersama, Senin (8/9/2025), Kemenkeu dan BI menyebutkan skema tersebut merupakan wujud sinergi fiskal–moneter. Beban bunga akan ditanggung bersama setelah dikurangi dengan hasil penempatan dana pemerintah pada lembaga keuangan domestik. Pelaksanaannya dilakukan melalui pemberian tambahan bunga oleh BI ke rekening pemerintah, sesuai dengan peran bank sentral sebagai pemegang kas negara.

“Besaran tambahan bunga tetap diselaraskan dengan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus memberi ruang fiskal bagi pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat,” bunyi pernyataan resmi itu.

Kebijakan ini ditegaskan tidak bertentangan dengan aturan. Landasan hukumnya merujuk pada Pasal 52 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4/2023, serta Pasal 23 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan bahwa kebijakan tersebut justru meringankan beban fiskal tanpa mengurangi independensi bank sentral. “BI tetap memiliki peran menjaga stabilitas sekaligus memberi dukungan pada pertumbuhan, termasuk untuk program perumahan dan koperasi,” ujarnya dalam rapat dengan Komite IV DPD.

Meski demikian, pengamat menilai terdapat sejumlah potensi risiko. Ekonom Indef, M. Rizal Taufikurahman, menilai pembelian SBN oleh BI yang telah mencapai Rp200 triliun hingga awal September memang memperkuat likuiditas, namun dapat menimbulkan kesan fiscal dominance serta mengurangi kedalaman pasar obligasi. “Keuntungannya jangka pendek, tetapi risikonya bisa menurunkan kredibilitas moneter dan menambah tekanan inflasi,” kata Rizal.

Sebagai catatan, Kompas pernah melaporkan bahwa skema serupa juga dijalankan pada masa pandemi 2020 dengan total pembelian SBN oleh BI mencapai lebih dari Rp500 triliun. Saat itu, langkah tersebut dinilai berhasil menekan lonjakan imbal hasil obligasi, meski memunculkan perdebatan mengenai batas kewenangan bank sentral. Sementara itu, Kontan menuliskan bahwa koordinasi yang hati-hati tetap diperlukan agar kebijakan ini tidak menimbulkan distorsi pasar dan kekhawatiran investor asing.

Sumber: Bisnis.com/Sn

 

Scroll to Top