Jakarta|EGINDO.co Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa untuk RAPBN 2026, peningkatan target penerimaan negara tidak disertai dengan kenaikan tarif pajak maupun pengenaan pungutan baru. Proyeksi pendapatan negara dinaikkan sekitar 9,8 persen, dari Rp2.865,5 triliun pada outlook APBN 2025 menjadi Rp3.147,7 triliun dalam RAPBN 2026.
Menurut beliau, strategi pemerintah lebih difokuskan pada pengoptimalan penegakan hukum (enforcement) dan peningkatan kepatuhan wajib pajak (compliance), bukan melalui pembebanan baru atau kenaikan tarif. Dengan demikian, penerimaan dapat meningkat tanpa menambah beban masyarakat.
Governance fiskal pemerintah juga tetap memperhatikan asas gotong royong — kelompok yang paling rentan, termasuk pelaku UMKM dan warga berpendapatan rendah, tetap mendapatkan perlindungan. Contohnya, UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta dibebaskan dari PPh, sementara yang omzetnya antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar hanya dikenai PPh final sebesar 0,5%. Sektor pendidikan dan kesehatan tetap dibebaskan dari PPN, dan penduduk berpenghasilan di bawah Rp60 juta per tahun juga dikecualikan dari PPh.
Menurut Reuters, meski pemerintah menargetkan kenaikan penerimaan sebesar 9,8%, kebijakan ini tidak datang melalui pengenalan pajak baru. Fokus diarahkan pada reformasi internal peraturan perpajakan dan penegakan yang lebih efektif.
Analisis dari CSIS: Legitimasi Fiskal Dalam Tekanan
Peneliti Senior CSIS, Deni Friawan, menyoroti bahwa legitimasi fiskal pemerintah berada dalam kondisi kritis. Ia menekankan adanya kontradiksi antara upaya pemerintah meminta rakyat membayar pajak secara lebih patuh, sementara di sisi lain tindakan boros, restrukturisasi birokrasi, dan tunjangan elit justru menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Deni menjelaskan bahwa masyarakat bersedia membayar pajak sebagai bagian dari kontrak sosial, jika mereka mendapatkan timbal balik berupa layanan publik, keadilan, dan stabilitas. Namun, dengan ekonomi yang rapuh dan ketimpangan yang terus membesar, keyakinan akan keadilan fiskal semakin pudar. Ia menambahkan, “Gelombang protes… tidak lain merupakan penolakan atas ketimpangan dan kontrak sosial… yang sangat timpang dan tidak adil.”
CSIS juga mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5 % belum diiringi distribusi yang merata. Gini ratio tercatat sebesar 0,39, sementara 60 % pekerja masih berada di sektor informal. Di tengah kenaikan harga kebutuhan dasar — seperti beras yang menembus Rp16.000/kg — kelas menengah dan masyarakat berpenghasilan rendah terus terdesak oleh inflasi.
Sebagai solusi, CSIS menyerukan agar pemerintah memperbaiki akuntabilitas, mengefisienkan anggaran, dan mengakhiri kebijakan yang memberi privilegia elit. Risiko seperti degradasi demokrasi dan krisis legitimasi fiskal harus segera dicegah, sebagaimana pelajaran dari krisis ekonomi multidimensional tahun 1997–1998.
Sumber: Bisnis.com/Sn