Jakarta|EGINDO.co Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan bahwa pemerintah tetap mengandalkan dan mempercayai data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pernyataan ini disampaikan di Istana Kepresidenan, sebagai respons atas keraguan beberapa pihak terhadap capaian pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 sebesar 5,12 persen (year-on-year).
Sri Mulyani menyatakan: “Selama ini kita menggunakan data BPS. Mereka yang menjelaskan metodologi dan sumber informasinya. Kami tetap percaya pada BPS,” tegasnya.
Kementerian Perindustrian juga menyatakan bahwa data BPS telah tervalidasi melalui berbagai indikator, seperti Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dan PMI manufaktur oleh Bank Indonesia, serta tren investasi dan ekspor sektor industri.
Menurut Febri Hendri Antoni Arief, Juru Bicara Kemenperin, industri nonmigas pada kuartal II 2025 tumbuh sebesar 5,60 persen (yoy), melampaui angka pertumbuhan ekonomi umum yang diukur oleh BPS.
Menurut laporan Reuters, pertumbuhan ekonomi kuartal II yang mencapai 5,12 persen melampaui ekspektasi pasar (4,80 persen), dengan dorongan utama dari investasi dan konsumsi rumah tangga.
Namun, beberapa lembaga riset independen di dalam negeri menyuarakan keprihatinan. Mereka menunjuk indikator negatif seperti penurunan penjualan mobil, melemahnya investasi asing, kontraksi manufaktur, dan pemutusan hubungan kerja (PHK)— yang konsisten menunjukkan perlambatan ekonomi, bukan percepatan. Kekhawatiran juga muncul terkait potensi politisasi data, mengingat target pertumbuhan Presiden Prabowo Subianto adalah mencapai 8 persen.
Sebelumnya, survei oleh Reuters terhadap 26 ekonom memperkirakan bahwa pertumbuhan Indonesia pada kuartal II 2025 hanya sekitar 4,80 persen, sedikit menurun dibandingkan kuartal I yang sebesar 4,87 persen. Pelemahan ini disebabkan oleh rendahnya konsumsi rumah tangga, kepercayaan konsumen yang menurun, serta penjualan ritel yang melemah.
-
Pemerintah dan Kemenperin tegas menyatakan bahwa BPS adalah lembaga independen dan metodologinya sah serta bisa dipertanggungjawabkan.
-
Ekonom dan lembaga riset mempertanyakan keandalan data tersebut—menilai bahwa angka-angka kondusif di permukaan tidak selaras dengan tanda-tanda perlambatan riil di banyak sektor.
-
Ketegangan antara narasi resmi dan realitas ekonomi yang dirasakan di lapangan mendorong kebutuhan transparansi lebih lanjut dari BPS, termasuk keterbukaan metodologi dan validasi data publik.
Sumber: Tribunnews.com/Sn