Tanah yang Lelah, Ladang yang Mati

Tanah yang Lelah
Tanah yang lelah

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si

Di banyak sudut desa Indonesia, asap tipis dari ladang yang dibakar masih menjadi pemandangan lumrah saban musim tanam tiba. Api menyapu semak dan sisa tanaman, membuka lahan untuk jagung yang akan ditanam kembali. Dari Nusa Tenggara hingga pedalaman Kalimantan, praktik ini berulang seperti ritual musiman—cepat, murah, dan diwariskan turun-temurun.

Kini, pemandangan serupa juga mulai jamak terlihat di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Di dataran tinggi yang dulunya lebih dikenal sebagai kawasan tenang nan subur di sekitar Danau Toba, lahan pertanian mulai dijadikan ladang jagung secara intensif. Petani membakar sisa semak dan alang-alang demi menyiapkan tanam perdana, dan terus mengulang pola yang sama setiap musim.

Namun di balik kepulan asap itu, tanah mulai kehilangan napasnya.

Ladang yang Terus Ditinggalkan

Di Kabupaten Lampung Timur, petani mulai mengeluhkan hasil panen jagung yang kian menyusut. “Dulu bisa 6 ton per hektare, sekarang paling 3 ton. Tanahnya sudah keras, kering, dan cepat panas,”. Hal serupa terjadi di Timor Tengah Selatan, NTT, di Sintang, Kalimantan Barat, dan kini mulai tampak gejalanya di Samosir. Bekas ladang yang terus-menerus dibakar dan ditanami tanpa jeda, kini masih berlanjut.

Monokultur jagung yang diulang saban tahun, ditambah pemakaian herbisida seperti Roundup dan pupuk kimia yang berlebihan, menciptakan tanah yang “lelah”. Organisme tanah yang semestinya hidup dan bekerja memperkaya tanah justru mati perlahan. Struktur tanah rusak, daya ikat air hilang, dan gulma makin resisten terhadap herbisida.

Siklus Ketergantungan Kimia

Model pertanian seperti ini menciptakan lingkaran ketergantungan: semakin rusak tanah, semakin tinggi dosis pupuk dan pestisida yang dibutuhkan. Padahal, biaya input terus naik, sementara produktivitas menurun. Tidak sedikit petani terjebak utang untuk membeli sarana produksi—ironis di tengah upaya mengejar swasembada pangan.

Dalam jangka panjang, pendekatan ini juga membebani lingkungan. Sisa glifosat dari herbisida masuk ke air tanah, mencemari aliran sungai, dan memperburuk kesehatan ekosistem. Lahan yang terlalu sering dibakar kehilangan lapisan humus, memicu erosi, dan rentan longsor saat musim hujan tiba.

Di Samosir, yang tanahnya tergolong berbatu dan kering, praktik pembakaran memberi efek lebih cepat: lapisan atas tanah cepat habis, dan petani cederung  berpindah-pindah lahan, membuka hutan sekunder yang tersisa.

Jalan Pulang: Kembali ke Tanah

Namun, di beberapa desa mulai tampak tanda-tanda kebangkitan. Petani muda di Manggarai, Flores, mulai meninggalkan praktik bakar dan menggantinya dengan sistem olah lahan tanpa api. Sisa panen dicacah dan dijadikan mulsa atau kompos, mikroorganisme lokal seperti Trichoderma dan EM4 digunakan untuk mempercepat pelapukan dan menyuburkan tanah.

Rotasi tanaman pun kembali diperkenalkan. Jagung tak lagi ditanam terus-menerus, tetapi diselingi dengan kacang tanah atau kedelai, tanaman leguminosae yang memperbaiki nitrogen dalam tanah. Tanaman penutup tanah seperti lamtoro mulai ditanam untuk menghambat gulma secara alami dan memperkaya unsur hara.

Pupuk kandang matang dan abu kayu menjadi alternatif yang jauh lebih terjangkau dibanding pupuk kimia. Sementara untuk pengendalian gulma, petani menggunakan sabit, mulsa jerami, atau herbisida alami dari daun mimba dan tembakau. Agroforestri sederhana—memadukan tanaman pangan dengan pohon pelindung seperti gamal atau alpukat—memberi keteduhan dan menjaga kelembaban tanah.

Pertanian yang Mensejahterakan

Pertanian berkelanjutan bukanlah romantisme masa lalu. Ini adalah strategi bertahan hidup jangka panjang. Tanpa tanah yang sehat, mustahil ada pangan yang cukup. Tanpa lingkungan yang stabil, pertanian justru menjadi beban, bukan solusi.

Pemerintah, lembaga riset, dan organisasi petani perlu mendorong praktik-praktik ini lebih luas. Bantuan pertanian sebaiknya tidak hanya dalam bentuk pupuk dan benih, tetapi juga pelatihan membuat kompos, memperbanyak mikroba tanah, dan mengelola rotasi tanam. Ini adalah investasi jangka panjang untuk kedaulatan pangan yang sejati.

Jika ladang yang rusak bisa dipulihkan, maka masa depan petani bisa diperbaiki. Karena sejatinya, bukan ladang yang mati. Yang mati adalah cara lama yang tak lagi sanggup menjawab zaman.

***

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan

Scroll to Top