Jakarta | EGINDO.com – Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mengungkapkan, penurunan ekspor Indonesia tidak hanya mencerminkan lemahnya daya saing, tetapi juga mulai berdampak serius terhadap sektor tenaga kerja, khususnya di industri padat karya.
Hal itu diungkapkan Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Ahmad Heri Firdaus, menanggapi kebijakan tarif baru Amerika Serikat (AS) terhadap produk asal Indonesia. Katanya penurunan ekspor Indonesia pada 2024 tercatat lebih tajam dibandingkan sejumlah negara lain seperti Vietnam, Meksiko, Brazil, Pakistan, India, dan bahkan Bangladesh. Hal itu menunjukkan daya saing produk Indonesia masih tertinggal, terutama secara kompetitif.
“Tarif kita lebih rendah 19%, tapi penurunan ekspor kita lebih besar. Dampak yang paling dirasakan itu adalah bagi industri tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Ini sektor padat karya yang paling tergerus,” kata Heri dalam diskusi, Senin (21/7/2025) di Jakarta.
Menurut Heri, tenaga kerja juga paling tergerus di tekstil, WAP (wearing apparel), Textile, dan alas kaki masuk di dalamnya. Itu turun juga, mau yang pekerja kasar atau pekerja profesional turun. Jadi memang catatan pertama, dampak yang paling dirasakan itu adalah bagi industri tekstil pakaian jadi dan alas kaki. Sektor tekstil dan alas kaki selama ini dikenal menyerap jutaan tenaga kerja dan menjadi basis produksi bagi banyak merek global.
Heri mengingatkan bahwa tren penurunan ekspor dan efisiensi produksi yang belum maksimal bisa memicu kekhawatiran investor asing. “Kalau pemilik merek global melihat kondisi ini, bisa saja mereka berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Nike saja punya sekitar 50 pabrik di Indonesia. Kalau tidak menguntungkan, bisa jadi mereka pindah,” katanya menjelaskan.
Menurutnya keunggulan komparatif seperti pada sektor kelapa sawit tidak cukup untuk menopang keseluruhan struktur ekspor dan ketenagakerjaan. Industri yang bersifat padat karya justru perlu mendapat perhatian ekstra. Industri tekstil dan alas kaki sangat bergantung pada pasar ekspor seperti Amerika Serikat. Jika tidak ada strategi untuk memperkuat daya saing dan efisiensi, maka ancaman terhadap lapangan kerja akan makin nyata.
Dengan diberlakukannya tarif baru sebesar 19% mulai Agustus 2025 oleh AS, Heri menilai pemerintah perlu merumuskan langkah taktis untuk melindungi sektor padat karya dari guncangan global dan menjaga kepercayaan investor.@
Bs/timEGINDO.com