Menakar Kinerja Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kawasan Perbukitan Danau Toba

Kebakaran Hutan dan Lahan di Kawasan Perbukitan Danau Toba
Kebakaran Hutan dan Lahan di Kawasan Perbukitan Danau Toba

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang

Kawasan Danau Toba, sebagai bagian dari warisan alam dan budaya dunia, kembali menjadi perhatian nasional. Sayangnya, bukan karena keberhasilannya dalam konservasi atau pengembangan geopark, melainkan karena bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus berulang—dan tampaknya tak kunjung tertangani secara sistemik.

Dalam kurun lima tahun terakhir, peristiwa karhutla di Danau Toba bukan hanya menjadi pola berulang tahunan, tetapi justru memburuk. Data menunjukkan bahwa pada pertengahan 2025 saja, kebakaran telah menghanguskan lebih dari 150 hektare di Geosite Pusuk Buhit dan 120 hektare di Geosite Tele. Padahal keduanya merupakan titik strategis dalam peta geopark Danau Toba. Dengan 186 titik panas (hotspot) di Sumatera Utara—terbesar secara nasional setelah Kalimantan—peringatan serius kembali muncul: kita sedang gagal menjaga kawasan ini.

Bila tidak ditangani dengan baik, karhutla berpotensi menjadi “boomerang diplomatik” dalam menghadapi tim revalidasi UNESCO Global Geopark yang akan hadir 21–25 Juli 2025. Status Danau Toba kini tengah dalam masa evaluasi, dan jika tidak ada perbaikan berarti, bukan tidak mungkin “kartu kuning” yang diterima pada evaluasi sebelumnya berubah menjadi “kartu merah”.

Masalah Struktural, Bukan Sekadar Iklim

Kemarau panjang dan penurunan curah hujan memang berkontribusi besar dalam meningkatkan potensi kebakaran. Namun menjadikan perubahan iklim sebagai satu-satunya kambing hitam adalah bentuk pengalihan dari kegagalan struktural dalam penanganan bencana. Minimnya sistem deteksi dini, buruknya infrastruktur mitigasi seperti embung dan kanal pengaman api, serta tidak adanya strategi tata kelola vegetasi di lereng perbukitan—semua adalah kegagalan kebijakan. Kita tak sedang kekurangan pengetahuan, melainkan kekurangan pelaksanaan.

Sebagian besar lahan yang terbakar adalah padang ilalang dan semak kering yang sangat mudah terbakar. Kenyataan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, namun tak kunjung ada program konversi vegetasi ke tanaman tahan api seperti macadamia atau pohon buah bernilai ekonomi. Bukankah ini bentuk pembiaran?

Gagal dalam Edukasi dan Penegakan Hukum

Masalah berikutnya adalah lemahnya edukasi masyarakat lokal dan nihilnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan. Dalam banyak kasus, pembakaran dilakukan untuk membuka lahan secara cepat dan murah. Namun pembiaran atas praktik ini, apalagi di zona rawan, merupakan kelalaian struktural yang tidak bisa ditoleransi.

Di banyak negara, masyarakat sekitar hutan menjadi garda depan mitigasi bencana. Kita memiliki model serupa dalam bentuk Masyarakat Peduli Api (MPA). Namun sayangnya, program ini tidak berjalan optimal di Kawasan Danau Toba. Tanpa pelatihan, pendampingan, dan dukungan anggaran, MPA hanya menjadi slogan tanpa daya guna. Ironisnya, aparat penegak hukum jarang sekali mengambil tindakan tegas terhadap pelaku karhutla, padahal dampaknya sangat luas—tidak hanya ekologis, tetapi juga sosial dan ekonomi. Penegakan hukum yang lemah memperkuat budaya impunitas.

Kinerja Kementerian LHK: Di Mana Nyatanya?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebagai institusi yang bertanggung jawab atas konservasi kawasan ini, belum menunjukkan kinerja yang memadai. Beberapa program konservasi berjalan, tetapi tidak terintegrasi, tidak adaptif terhadap dinamika lapangan, dan lebih sering bersifat seremoni ketimbang substansial.

Minimnya anggaran tentu jadi alasan yang sering dikemukakan. Namun dalam kebijakan publik, kekurangan anggaran bukan pembenaran untuk kegagalan, melainkan tantangan yang seharusnya disiasati dengan pendekatan kolaboratif: menggandeng swasta, komunitas lokal, bahkan kerja sama internasional. LHK seharusnya menjadi penggerak sinergi, bukan sekadar operator proyek. Sayangnya, hingga kini sinergi antara LHK, BPBD, Pemda, TNI/Polri, dan penggiat lingkungan di Kawasan Danau Toba masih bersifat reaktif, belum strategis dan berkelanjutan.

Apa yang Harus Dilakukan?

Diperlukan perubahan paradigma dari pendekatan pemadaman ke pendekatan pencegahan berbasis sistem. Beberapa langkah kunci yang harus segera diimplementasikan antara lain:

  1. Peningkatan Teknologi Deteksi Dini

Drone, satelit, dan sensor suhu permukaan harus dijadikan alat utama dalam pemantauan dan prediksi titik api.

  1. Konversi Vegetasi

Lahan semak dan ilalang diubah menjadi vegetasi tahan api yang produktif. Ini bisa dilakukan melalui program agroforestri berbasis masyarakat.

  1. Penguatan Infrastruktur Mitigasi

Membangun embung, kanal pemecah api, serta pos pantau permanen di titik-titik rawan.

  1. Revitalisasi Masyarakat Peduli Api (MPA)

MPA harus dilatih, diberi peralatan, dan dilibatkan dalam perencanaan pengelolaan kawasan. Jangan jadikan mereka sekadar pelengkap laporan kegiatan.

  1. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi

Tak cukup hanya sosialisasi, pelaku pembakaran harus diproses hukum agar ada efek jera.

  1. Reformasi Tata Kelola Konservasi

Kementerian LHK perlu mengevaluasi ulang program konservasi di geopark, dan mengubahnya dari berbasis proyek menjadi berbasis dampak.

Menyelamatkan Geopark, Menyelamatkan Marwah Bangsa

Kawasan Danau Toba bukan hanya milik masyarakat lokal atau Sumatera Utara. Ia adalah kebanggaan nasional yang telah diakui dunia. Jika kita gagal merawatnya, maka yang hilang bukan hanya hutan dan air, tapi juga marwah kita sebagai bangsa yang mengaku peduli terhadap lingkungan. Menyelamatkan kawasan geopark ini membutuhkan keseriusan lintas sektor, bukan hanya kegiatan simbolik saat tim UNESCO datang berkunjung. Dunia tidak menilai dari pidato dan spanduk, melainkan dari kinerja nyata di lapangan.

Kebakaran di Geosite Pusuk Buhit dan Tele seharusnya menjadi peringatan terakhir. Bila kita tidak segera berbenah, maka status geopark bukan hanya terancam, tetapi bisa benar-benar dicabut. Dan jika itu terjadi, sejarah akan mencatat bahwa kita—yang punya pengetahuan, kuasa, dan tanggung jawab—telah gagal menjaganya.@

***

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan

Scroll to Top