Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si
Danau Toba, ikon kebanggaan nasional dan satu dari sedikit Geopark Global UNESCO (UGG) di Indonesia, kini tengah berada di persimpangan yang menentukan: antara mempertahankan kehormatan dunia atau terancam kehilangan status prestisius sebagai warisan geologi dunia. Proses revalidasi status UGG pada 21 hingga 25 Juli 2025 menjadi panggung penilaian terakhir, bukan hanya secara teknis, namun menyentuh integritas, komitmen, dan moralitas bangsa di hadapan komunitas global.
Namun, sinyal dari lapangan justru menunjukkan ketidaksiapan serius. Kelembagaan yang pincang, lemahnya koordinasi antar pemerintah daerah, hingga lambannya respons terhadap rekomendasi UNESCO, menyiratkan satu kesimpulan: Danau Toba bisa saja kehilangan status geopark global dan waktunya makin sempit.
Kehadiran Dr. Soo Jae Lee, asesor UNESCO dari Korea Selatan, didampingi tim nasional seperti Togu Pardede, Leonard VH Tampubolon, dan Kastorius Sinaga, seharusnya menjadi momen refleksi dan pembenahan. Namun sebaliknya, justru menguak berbagai pertanyaan mendasar: Mengapa rekomendasi UNESCO sejak 2023 belum juga ditindaklanjuti?. Dimana peran aktif Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI)?. Mengapa kesiapan baru dipacu saat waktu hampir habis?. Aktivitas mendadak jelang revalidasi justru menimbulkan kesan manipulatif, yang bisa mengganggu objektivitas proses penilaian.
Pada 30 Juni 2025, Gubernur Sumatera Utara memimpin rapat bersama tujuh bupati di kawasan Danau Toba dan menandatangani kesepakatan revalidasi. Namun, hanya sepekan berselang, pernyataan mengejutkan datang dari sang gubernur sendiri: hanya dua dari tujuh bupati yang benar-benar aktif.
Kesepakatan tinggal kertas. Tanpa aksi nyata, janji itu kehilangan makna. Di lapangan, masyarakat masih menanti bukti bahwa para pemimpin mereka benar-benar peduli. Optimisme Pemerintah Pusat, Kontras dengan Ketidakaktifan Daerah. Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, saat kunjungan pada 8 Juli, menyatakan optimisme bahwa status “green card” UNESCO dapat dipertahankan. Namun, narasi positif itu bertolak belakang dengan kenyataan: lima dari tujuh bupati tidak menjalankan peran secara aktif.
Koordinasi antara pusat dan daerah lemah. Saat waktu hampir habis, ketidakharmonisan ini menjadi bumerang yang bisa menggugurkan seluruh upaya bersama. Pasca terbitnya Peraturan Gubernur Sumut No. 5 Tahun 2024, struktur lama dibekukan tanpa kejelasan transisi. Kelompok Kerja Geosite dibentuk, tapi tak operasional di sebagian besar wilayah. Terlalu banyak OPD dilibatkan, namun tanpa kejelasan peran dan anggaran. Hasilnya? Hampir tak ada kegiatan lapangan yang menjawab kebutuhan revalidasi UNESCO secara substansial.
Fakta Lapangan: Buruk dan Memburuk. Kondisi lapangan memunculkan sederet catatan kritis: Minim edukasi kepada masyarakat. Banyak geosite rusak dan tak terurus. Koordinasi antar kabupaten lemah. Rekomendasi 2023 masih diabaikan. Geopark seharusnya menjadi proyek kolaborasi lintas wilayah. Tapi kenyataannya, masing-masing berjalan sendiri, tanpa komando terpadu.
Selain persoalan administrasi, kondisi ekologis Danau Toba makin mengkhawatirkan: Kebakaran hutan dan banjir rutin terjadi. Limbah mencemari air danau. Deforestasi dan kerusakan geosite tanpa mitigasi. Program konservasi, edukasi, dan pengembangan geoproduk mandek. Tiga pilar utama Geopark UNESCO, konservasi, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan nyaris tidak terlihat di lapangan.
Ironi mencolok terlihat dalam pola kepemimpinan: para kepala daerah dan pejabat geopark lebih sering “berkantor” di Medan, alih-alih hadir langsung di kawasan Toba. Masyarakat lokal dibiarkan berjuang sendiri menghadapi krisis sosial dan lingkungan.
Saat kamera menyala, para pemimpin tampil. Tapi saat aksi nyata dibutuhkan, mereka menghilang. Waktu hampir habis. Dunia tidak menilai dari presentasi PowerPoint, tetapi dari kondisi nyata di lapangan. Jika status Geopark Global dicabut, dampaknya bukan hanya kehilangan pengakuan internasional, tetapi juga mencoreng nama Indonesia sebagai pengelola kawasan konservasi.
Menyerukan panggilan terbuka kepada para pengambil keputusan: Gubernur Sumut: Turun ke lapangan. Tinggalkan politik meja. Tujuh Bupati Toba: Ubah tanda tangan menjadi aksi. KNGI dan pejabat Geopark: Hadir bersama rakyat, bukan hanya di forum internasional. Komunitas lokal: Suarakan kepedulian. Ini tanah air kita bersama.
Danau Toba bukan sekadar keajaiban geologi. Ia adalah simbol martabat bangsa dan ujian tata kelola publik. Dunia sedang mengamati – bukan hanya status, tapi integritas. Jika tak mampu menjaga, maka lebih baik memberi ruang kepada yang mampu. Karena sejarah akan mencatat – apakah kita berdiri menjaga, atau memilih diam saat warisan bangsa hampir hilang.
***
Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia/Penggiat Lingkungan