Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si
- Substansi Hutan dan Kawasan Konservasi di Indonesia
Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi kedua di dunia dan termasuk dalam kategori negara megabiodiversity. Luas kawasan hutan Indonesia sekitar 125 juta hektare, dengan ± 27 juta hektare di antaranya ditetapkan sebagai kawasan konservasi, yang terdiri dari: Kawasan Suaka Alam (KSA): Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Kawasan Pelestarian Alam (KPA): Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Raya. Kawasan konservasi tidak hanya penting dalam pelestarian flora dan fauna, tetapi juga menyimpan nilai geologi, hidrologi, dan budaya yang sangat penting dalam pengembangan geopark.
- Status Internasional Kawasan Konservasi Indonesia
Sejumlah kawasan konservasi Indonesia juga telah diakui secara internasional oleh badan dunia seperti UNESCO, Ramsar Convention, dan ASEAN Heritage Parks (AHP). Status ini menjadi tolok ukur penting dalam menjamin kualitas konservasi dan pengelolaan kawasan yang mendukung geopark. Beberapa di antaranya:
Kawasan Konservasi | Status Internasional | Institusi Pengakuan |
Taman Nasional Komodo | World Heritage Site | UNESCO |
Taman Nasional Ujung Kulon | World Heritage Site | UNESCO |
Taman Nasional Gunung Leuser | World Heritage Site (TRHS) | UNESCO |
Taman Nasional Berbak & Sembilang | Ramsar Wetlands | Ramsar Convention |
Taman Nasional Lorentz | World Heritage Site | UNESCO |
7 Taman Nasional | ASEAN Heritage Park (AHP) | ASEAN |
Pengakuan ini membuka peluang geopark untuk terintegrasi dalam jejaring konservasi global dan memperkuat legitimasi internasionalnya.
- Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Konteks Geopark
Dasar Hukum Terkait Pengelolaan: Dasar Hukum Pengelolaan Kawasan Konservasi: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Permen LHK No. P.76/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2015 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengembangan Taman Bumi (Geopark). Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 15 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Pengembangan Taman Bumi (Geopark) Indonesia Tahun 2021-2025. PERMEN ESDM No. 31 Tahun 2021 tentang Penetapan Taman Bumi (Geopark) Nasional. Strategi Pengelolaan Konservasi yang Relevan untuk Geopark: Zona Pemanfaatan Tradisional dan Ekowisata. Pendidikan Konservasi untuk masyarakat dan pelajar. Pelibatan masyarakat lokal dalam perlindungan kawasan dan jasa lingkungan
- Aspek Geopark: Konservasi, Pendidikan, dan Sosial Ekonomi
Geopark dibangun di atas tiga pilar utama: konservasi, pendidikan, dan pembangunan ekonomi masyarakat lokal secara berkelanjutan. Kawasan konservasi, melalui peran dan program KSDAE, menjadi fondasi vital bagi ketiganya:
1. Konservasi. Geopark berfungsi sebagai kawasan pelestarian geoheritage dan biodiversitas yang terintegrasi. Program konservasi kawasan oleh Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) mendukung ini melalui: Rehabilitasi ekosistem (reboisasi, restorasi gambut). Patroli perlindungan hutan. Konservasi spesies kunci (Harimau, Orangutan, Gajah, Badak).
2. Pendidikan dan Ilmiah. Geopark adalah ruang terbuka untuk edukasi konservasi dan geologi. Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) memiliki berbagai program seperti: Sekolah Lapang Konservasi. Kemah Konservasi. Green Camp dan Eduwisata Konservasi di Taman Nasional dan TWA. Pusat Informasi Konservasi di kawasan konservasi. Ini mendukung geopark sebagai laboratorium alam terbuka bagi pelajar, peneliti, dan masyarakat umum.
3. Sosial Ekonomi. Geopark menjadi sarana pengembangan ekonomi lokal berbasis alam dan budaya, dengan dukungan konservasi yang menjaga daya tarik jangka panjang. Program Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) yang berkontribusi: Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi (MMP). Melalui pelatihan ekowisata, kerajinan tangan, dan produk hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan Jasa Lingkungan seperti wisata alam (camping ground, birdwatching, tracking). Skema Kemitraan Konservasi. Mendorong partisipasi masyarakat dalam perlindungan kawasan dan pemberdayaan ekonomi
- Studi Kasus dan Implementasi: Dukungan Konservasi dalam Geopark
Geopark | Kawasan Konservasi Terkait | Dukungan KSDAE |
Geopark Batur (Bali) | TWA Gunung Batur | Eduwisata, monitoring kawasan |
Geopark Ciletuh | TN Gunung Halimun Salak | Pemberdayaan ekonomi masyarakat, ekowisata |
Geopark Rinjani | TN Gunung Rinjani | Program konservasi spesies, mitigasi wisata |
- Kritik Tajam: Perlu Integrasi Regulasi dan Tata Kelola Kolaboratif. “Konservasi bukanlah hambatan pembangunan. Ia adalah fondasi masa depan.” Meskipun geopark dan kawasan konservasi memiliki visi yang selaras, implementasi di lapangan masih kerap terfragmentasi. Dualisme kelembagaan antara pengelola geopark (sering di bawah Pemda atau Komite Nasional Geopark Indonesia) dengan pengelola kawasan konservasi (di bawah KSDAE) menimbulkan tumpang tindih kebijakan, keterbatasan anggaran, dan minimnya sinergi program.
Tantangan besar: Belum ada regulasi tunggal dan operasional yang mengintegrasikan geopark dengan pengelolaan konservasi. Masih terbatasnya arus data dan pemanfaatan informasi geospasial antara kedua entitas. Perlu peningkatan kapasitas SDM lokal dan sistem pembiayaan berkelanjutan (misal: ekowisata konservasi, carbon offset, atau PES).
- Penutup: Momentum Kolaboratif yang Harus Diperkuat
Geopark adalah model pembangunan berkelanjutan paling lengkap, dengan kekuatan di konservasi, pendidikan, dan sosial ekonomi. Kawasan konservasi adalah tulang punggung dari keberlanjutan geopark. KSDAE sebagai institusi kunci harus menjadi pionir dalam mengintegrasikan pengelolaan konservasi ke dalam sistem geopark nasional dan global.
Jika tak segera diintegrasikan, geopark akan kehilangan fungsi utamanya sebagai penjaga warisan bumi. Tetapi jika disinergikan, geopark bisa menjadi model masa depan Indonesia — di mana alam, ilmu pengetahuan, dan kesejahteraan berjalan bersama.@
***
Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan