Jakarta|EGINDO.co Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) mengkritik keras kegagalan pemerintah Indonesia dalam membujuk Amerika Serikat (AS) agar membatalkan pengenaan tarif sebesar 32 persen terhadap produk baja tahan karat asal Indonesia.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai kegagalan ini mencerminkan lemahnya strategi diplomasi ekonomi nasional serta buruknya koordinasi antar kementerian terkait. “Tim negosiasi yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto telah mengajukan berbagai penawaran strategis, mulai dari pasokan LNG dan LPG, minyak mentah, hingga pembelian pesawat Boeing. Namun semua itu tidak cukup meyakinkan pemerintah AS,” kata Bhima dalam keterangan tertulis, Rabu (9/7/2025).
Bhima menambahkan bahwa kegagalan ini seharusnya menjadi peringatan penting bagi Presiden Prabowo untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap jajaran kabinetnya. Ia menyoroti bahwa posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global kian melemah akibat ketiadaan arah kebijakan yang tegas.
“Perombakan kabinet bukan lagi hal yang bisa ditunda. Menteri Airlangga terbukti tidak mampu merumuskan strategi perdagangan luar negeri yang tangguh. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kini seolah tidak lagi memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan strategis, sedangkan Menteri Luar Negeri Sugiono hanya menjalankan peran seremonial,” jelas Bhima.
Berdasarkan kajian CELIOS, tarif 32 persen yang dikenakan AS tidak hanya berdampak pada sektor baja, namun juga berpotensi merembet ke industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan barang jadi lainnya. Akibatnya, sekitar 1,2 juta tenaga kerja terancam kehilangan mata pencaharian. Selain itu, nilai ekspor Indonesia diperkirakan akan menyusut hingga Rp105,98 triliun dan pendapatan masyarakat bisa terpangkas Rp143,87 triliun.
Sejalan dengan CELIOS, laporan dari Kompas.com menyebutkan bahwa tarif tersebut merupakan bagian dari kebijakan peninjauan ulang “Section 301” oleh AS yang menyasar beberapa negara mitra dagang, termasuk Indonesia, atas dasar praktik dagang yang dinilai tidak adil.
Lebih lanjut, CELIOS memprediksi bahwa apabila kebijakan tarif resiprokal mulai diberlakukan per 1 Agustus 2025, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini bisa merosot ke level 4,7–4,8 persen secara tahunan (year-on-year), lebih rendah dari proyeksi pemerintah yang berada di kisaran 5,1 persen.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur Studi China-Indonesia CELIOS, juga mengkritik absennya Duta Besar Indonesia untuk AS sejak tahun 2023. Menurutnya, kekosongan ini menjadi blunder diplomatik yang membuat posisi Indonesia dalam dialog bilateral semakin lemah.
“Saat AS mengumumkan kebijakan tarif, Indonesia tidak memiliki perwakilan diplomatik penuh di Washington. Di saat negara seperti Vietnam aktif menjalin komunikasi diplomatik dan memperkuat posisinya di pasar AS, kita justru membiarkan posisi tawar kita melemah,” ujarnya.
Dalam catatan Bisnis.com, Vietnam bahkan berhasil mendapatkan pengecualian tarif pada sejumlah produk berkat pendekatan diplomatik yang intensif dan konsisten.
Melihat kondisi tersebut, CELIOS mendesak Presiden Prabowo untuk melakukan restrukturisasi kabinet dengan menempatkan sosok-sosok profesional yang memiliki pemahaman mendalam mengenai dinamika perdagangan internasional. “Ini bukan sekadar reshuffle, melainkan penyelarasan ulang arah kebijakan luar negeri dan ekonomi secara menyeluruh,” pungkas Bhima.
Sumber: Tribunnews.com/Sn