Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl._Ec., M.Si
Geopark Kaldera Toba, warisan alam dunia yang diakui UNESCO, kini berada diujung tanduk. Kebakaran hutan yang berulang, banjir bandang yang kian sering terjadi, serta penebangan kayu liar yang masif, mengancam kelestarian Kawasan Danau Toba yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa ini. Beberapa Kawasan geosite penting seperti Tele, Pusuk Buhit, Haranggaol, Silalahi, dan Tipang Bakkara dilalap api si jago merah, sementara Parapat, Bakkara, Sianjur Mula Mula, Silalahi dan sekitarnya terjadi banjir bandang. Ini bukan sekadar berita lingkungan ini adalah panggilan darurat bagi kita semua.
Kebakaran Hutan: Musibah Menghancurkan Ekosistem dan Masa Depan
Pada 1 Juli 2025, api melahap Hutan Pinus Tele, menghancurkan puluhan hektare hutan pinus yang menjadi habitat penting flora dan fauna unik Kaldera Toba. Kebakaran besar lainnya selama dua tahun terakhir terjadi di lingkar Gunung Pusuk Buhit, perbukitan pantai Tulas, Bonadolok, dan Hasinggaan, Binangara, menandai pola kerusakan ekologis yang mengkhawatirkan. Asap tebal yang membumbung ke udara tidak hanya membahayakan kesehatan masyarakat, tetapi juga menghilangkan paru-paru bumi yang berfungsi menyerap karbon dan menjaga iklim mikro kawasan. Jika dibiarkan, kebakaran ini berlangsung setiap tahun akan mengubah wajah Kaldera Toba secara permanen dan merusak keanekaragaman hayati yang ada.
Banjir Bandang: Perlawanan Alam terhadap Kerusakan Manusia
Kerusakan hutan massif pada lima kecamatan sekitar Parapat, Girsang Sipangan Bolon, Dolok Panribuan, Pematang Sidamanik, Hatoguan, dan Jorlang Hataran, telah mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan. Alih fungsi lahan dan penebangan liar membuat tanah tak mampu menahan curah hujan tinggi, sehingga memicu banjir bandang yang menghantam permukiman warga di hilir sungai. Sungai Batu Gaga meluap, membawa lumpur dan batu, menghancurkan harapan dan kehidupan masyarakat setempat. Fenomena serupa juga terjadi di beberapa desa di Kecamatan Kabupaten Samosir, baik di daratan maupun pulau Samosir, serta hampir di seluruh kabupaten di Kawasan Danau Toba. Ini adalah gambaran nyata bagaimana keserakahan dan kelalaian manusia memicu bencana alam yang bisa dihindari.
Penebangan Kayu Liar: Merenggut Masa Depan Geopark
Penebangan kayu ilegal menjadi luka berdarah bagi ekosistem Kaldera Toba. Pada 2023, ratusan kubik kayu ditebang tanpa izin di kawasan Silalahi Sabungan dan Tipang Bakkara. Hutan yang hilang berarti habitat yang musnah, fungsi ekologis yang melemah, dan potensi bencana alam yang meningkat. Jika tidak segera dihentikan, aktivitas ilegal ini akan membawa dampak jangka panjang yang fatal dan mengancam status Kaldera Toba sebagai geopark global serta sumber penghidupan masyarakat sekitar.
Peringatan UNESCO: “Yellow Card” yang Membakar Kesadaran
UNESCO telah memberikan peringatan serius berupa status “Yellow Card” pada 2023, sebagai tanda bahwa tata kelola dan pelestarian Geopark Kaldera Toba masih jauh dari ideal. Ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki pengelolaan kawasan dan melestarikan warisan dunia ini. Namun, kebakaran dan kerusakan yang terus berulang menunjukkan bahwa komitmen dan tindakan nyata masih sangat kurang. Jika tidak ada perubahan cepat dan tegas, bukan tidak mungkin Kaldera Toba akan kehilangan gelar warisan dunia—kerugian besar yang tidak hanya merusak reputasi Indonesia, tetapi juga mengancam kehidupan dan masa depan masyarakat lokal.
Seruan Aksi: Bersama Kita Bisa Menyelamatkan Kaldera Toba
Kini saatnya kita bertindak bersama! Pemerintah, masyarakat, akademisi, dan semua pemangku kepentingan harus bersatu padu untuk: Meningkatkan pengawasan, penegakan hukum, dan pemberdayaan masyarakat dalam menjaga Kawasan.
Menanggulangi musibah kebakaran yang berulang setiap tahun dengan tidakan antisipatif dengan melengkapi peralatan sesuai kebutuhan lapangan melalui edukasi masyarakat, manajemen risiko berbasis komunitas, dan teknologi pemantauan real-time bukan reaktif dengan sumber daya seadanya seperti dilakukan selama ini sampai saat ini.
Menghentikan penebangan liar dan alih fungsi lahan di kawasan hutan lindung dan menghentikan galian C yang merusak lingkungan secara tegas dan berkelanjutan. Melaksanakan rehabilitasi hutan dan penghijauan di lahan kritis yang terdampak mengatasi kebakaran dan erosi.
Mengajak masyarakat lokal berperan aktif dalam pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam secara berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal.
Inspirasi dari Dunia: Kita Tidak Sendiri
Geopark di berbagai negara telah menunjukkan contoh sukses dalam pengelolaan berkelanjutan. Toya-Usu di Jepang, Gunung Batur di Bali, dan Azores di Portugal berhasil membangun ketahanan lingkungan melalui edukasi masyarakat, manajemen risiko berbasis komunitas, dan teknologi pemantauan real-time. Model-model sukses ini bisa kita adaptasi dan kembangkan untuk menjaga keindahan serta kelestarian Kaldera Toba.
Kesimpulan:
Geopark Kaldera Toba bukan sekadar tempat wisata atau warisan dunia yang bisa diwariskan begitu saja. Ia adalah rumah kita bersama, dan sumber kehidupan, paru-paru bumi, dan lambang identitas bangsa yang harus kita jaga dengan sepenuh hati. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita berisiko kehilangan warisan ini selamanya. Mari bersatu, bergerak, dan berjuang bersama menyelamatkan Kaldera Toba, untuk bumi kita, untuk anak cucu kita, dan untuk masa depan Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan.@
***
Penulis adalah Penggiat Lingkungan dan Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS-GI)