IHSG Melemah di Tengah Tekanan Jual Asing dan Sinyal Pelemahan Ekonomi

Ilustrasi
Ilustrasi

Jakarta|EGINDO.co Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (1/7/2025) ditutup melemah seiring dengan masih berlanjutnya arus keluar dana asing. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 0,18 persen atau turun 12 poin ke posisi 6.915.

Tim Analis Mirae Asset Sekuritas dalam risetnya pada Rabu (2/7/2025) menyatakan bahwa IHSG berpeluang untuk menguji level resistansi di 7.000. Namun, apabila terjadi tekanan jual lanjutan, maka level support berada di kisaran 6.877 hingga 6.830.

Aksi jual bersih investor asing pada perdagangan Selasa tercatat cukup besar, yakni mencapai Rp696 miliar. Tiga saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing adalah:

  • BBRI sebesar Rp200 miliar

  • BMRI sebesar Rp132 miliar

  • ANTM sebesar Rp98 miliar

Dari sisi makroekonomi, kondisi terbaru menunjukkan sinyal pelemahan. Ekonom Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, mengungkapkan bahwa Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global menunjukkan angka 46,9 pada Juni 2025. Angka ini menandakan kontraksi dan menjadi yang ketiga secara beruntun sejak April.

“Tekanan di sektor manufaktur terus berlanjut, menunjukkan indikasi perlambatan aktivitas industri dan memberikan sinyal pelemahan pertumbuhan ekonomi,” jelas Rully.

Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 diperkirakan tidak akan melampaui capaian pada kuartal I yang sebesar 4,87 persen.

Namun demikian, neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2025 tetap mencatatkan kinerja yang positif dengan surplus sebesar USD4,3 miliar. Nilai ekspor melonjak menjadi USD24,6 miliar—level tertinggi dalam hampir tiga tahun terakhir. Sementara itu, impor tetap kuat dengan nilai USD20,3 miliar.

Rully menambahkan bahwa lonjakan perdagangan ini kemungkinan besar dipicu oleh kebijakan penangguhan tarif baru selama 90 hari, yang mendorong eksportir dan importir untuk mempercepat aktivitas pengiriman sebelum batas waktu pada 9 Juli 2025.

“Dengan demikian, kami memperkirakan kinerja perdagangan yang kuat masih akan berlangsung hingga bulan Juni,” ujarnya.

Di sisi lain, Rully juga menyoroti potensi risiko ekonomi ke depan, terutama terkait negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat. Jika perundingan tersebut gagal dan tarif sebesar 32 persen benar-benar diberlakukan, maka dampaknya bisa cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

“Penerapan tarif tersebut dapat menjadi hambatan serius bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,” pungkas Rully.

Sumber: rri.co.id/Sn

Scroll to Top