Jika Tidak Hujan Panas Sekali, Jika Hujan Tidak Dingin (Hari Lingkungan Hidup se-Dunia)

Fadmin Malau
Fadmin Malau

Oleh: Fadmin Malau

HARI ini 5 Juni diperingati sebagai hari Lingkungan Hidup se-Dunia (World Environment Day). Setiap kali 5 Juni setiap tahunnya masyarakat dunia memperingatinya. Namun, apa hasilnya? Fakta yang ada hari ini acapkali terdengar keluhan dari warga masyarakat jika tidak hujan beberapa hari saja cuaca terasa panas sekali (ekstrim). Semua mengeluh jika tidak hujan beberapa hari saja sebab udara sangat panas, suhu mencapai 35 derejat hingga 36 derejat Celcius. Sebaliknya jika hari hujan beberapa hari atau seharian hujan tidak ada warga masyarakat yang mengeluh kedinginan.

Ambil contoh warga masyarakat (kota Medan) mengeluh banjir terjadi dimana-mana, jalanan tergenang air sehingga memacetkan kendaraan. Jika hari hujan terjadi banjir, jalanan tergenang air itu disebabkan penataan lingkungan yang tidak baik, sangat sedikit daerah resapan air sehingga air tergenang penyebab banjir. Namun, warga masyarakat tidak ada yang merasakan cuaca dingin. Logikanya, jika hari hujan maka hari itu udara dingin dan bila hujan terjadi beberapa hari maka udara semakin dingin. Namun, faktanya suhu udara tidak dingin, biasa-biasa saja.

Warga masyarakat tidak merasa dingin, hanya udara terasa sejuk. Beda ketika beberapa hari tidak hujan, udara langsung gerah, suhu panas dan air sumur menyusut dan ada yang kering. Sebaliknya jika hujan beberapa hari saja, sumur langsung penuh dan dimana-mana terjadi banjir. Kondisi yang sangat berbeda atau ekstrim ketika hujan beberapa hari dan tidak hujan beberapa hari terjadi perbedaan suhu yang mencolok (ekstrim) atau disebut cuaca ekstrim.

Jika banjir, tergenang air dimana-mana itu bukan cuaca ekstrim sebab hanya terjadi di Kota Medan sekitarnya sementara di daerah lain tidak banjir. Sedangkan cuaca ekstrim terjadi pada semua lokasi (daerah) di Indonesia. Sesungguhnya bukan terjadi di Indonesia saja tetapi telah terjadi pada semua tempat di dunia ini maka cuaca panas disebut pemanasan global.

Pemanasan global memiliki ciri cuaca panas bila tidak hujan dan bila hujan cuaca (suhu) tidak dingin. Bukan saja terjadi di Medan tetapi pada semua kota di Indonesia sebab hutan alam di Indonesia telah punah. Benar, pemanasan global fakta sebab dirasakan semua orang tanpa terkecuali. Fakta yang berbicara, jadi tidak sekadar opini publik.

Fakta yang dirasakan masyarakat Sumatera Utara bahwa tidak ada lagi daerah dingin di Sumatera Utara. Berbeda dengan 40 tahun silam. Daerah Sumatera Utara memiliki daerah bersuhu dingin. Kota Medan cuaca atau suhunya tidak sepanas sekarang ini. Tiga puluh lima tahun silam di Sumatera Utara ada kota dingin seperti kota Parapat, Porsea, Balige, Siborong-borong, Tarutung, Dolok Sanggul, Berastagi, Kabanjahe, Merek dan Sidikalang. Kemudian ada kota berudara sejuk seperti Binjai, Tebing Tinggi dan Pematang Siantar.

Kini sudah tidak ada lagi kota berudara sejuk dan kota berudara dingin. Mengapa? Jawabnya karena hutan alam sudah punah di Sumatera Utara dan Indonesia. Perdebatan panjang, berbagai seminar, puluhan kajian ilmiah telah dilakukan akan tetapi hasilnya belum ada. Hutan alam hilang, cuaca ekstrim datang, terjadi pemanasan global. Bisakah dikembalikan kondisi hutan alam seperti dahulu lagi agar pemanasan global tidak terjadi?

Pemanasan global terjadi akibat hutan alam di dunia ini sudah sedikit, sudah banyak yang punah. Bisakah hutan alam itu dikembalikan? Jawabnya bisa asalkan semua negara di dunia ini berkomitmen untuk mengembalikan hutan alam yang punah atau hilang itu. Harus diakui tidak mudah mengembalikan hutan alam yang punah itu. Butuh waktu dan dana yang besar. Hal yang paling sulit lagi karena masing-masing negara memiliki pandangan yang berbeda tentang fungsi hutan alam meskipun sama-sama merasakan dampak dari pemanasan global itu. Cuaca ekstrim atau pemanasan global terjadi karena masalah hutan alam hilang dari permukaan bumi ini. Akibatnya terjadi gelombang panas di permukaan bumi. Dampak lain meleleh atau mencair es di kutub bumi. Faktanya es mencair di kutub bumi terbukti dengan permukaan air laut naik yang ditandai dengan banyaknya daerah tepi pantai tenggelam dan pulau-pulau kecil hilang atau tenggelam.

Apa yang harus dilakukan manusia atau negara-negara di dunia ini? Langkah kongkrit dilakukan dengan mengurangi emisi hingga 86 persen. Hasil penelitian dari jurnal ilmiah “Proceedings of the National Academy of Sciences” (PNAS), menyatakan, alam punya kemampuan mengurangi lebih dari sepertiga atau 37 persen emisi gas rumah kaca di dunia ini untuk mencegah pemanasan global terjadi sampai kepada tingkat berbahaya.

Solusi iklim alami atau Natural Climate Solution (NCS) bisa dilakukan dengan target emisi dapat berkurang hingga 86 persen. Para peneliti dari University of Maryland, Amerika Serikat dan University of Wageningen, Belanda, menjelaskan solusi mengurangi emisi dengan melakukan penanaman kembali hutan gundul (reforestasi/reboisasi) adalah langkah yang tepat dan melindungi hutan bakau dan lahan gambut dari kepunahan dan menjaga kualitas tanah agar tetap stabil, tidak terjadi kering kerontang. Semua negara harus melakukannya agar bisa mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 20 persen dengan menjaga lahan gambut sebab lahan gambut bisa mengurangi emisi hingga 60 persen.

Hasil kajian para peneliti dalam jurnal yang berjudul “Natural Climate Solution” menyebutkan pengurangan emisi dibutuhkan untuk menjaga agar suhu bumi tetap berada di bawah dua derajat Celsius. Hasil penelitian menegaskan reforestasi merupakan strategi utama dalam solusi pemanasan global maka semua negara harus melakukannya untuk menghindari terjadinya pemanasan global. Semua negara di dunia ini harus menghindari alih fungsi hutan agar hutan tidak hilang sebab adanya hubungan antara penurunan emisi dengan pengurangan upaya deforestasi.

Semua negara di dunia ini harus mengelola hutan secara berkelanjutan dengan memperpanjang umur pohon yang dapat ditebang. Pohon bukan tidak boleh ditebang akan tetapi harus sesuai dengan umurnya yakni jangan ditebang waktu umur produktif. Kemudian melestarikan lahan gambut sebagai tempat penyimpan karbon sebab lahan gambut mendukung daya dukung bumi.

Untuk itu ketika diketahui penyebab pemanasan global maka solusi terbaik semua negara melakukan dekarbonisasi atau menurunkan emisi karbon secara optimal. Pemanasan global satu pertanda lingkungan dunia telah rusak maka semua penduduk bumi ini merasakannya sebab bumi ini ibarat sebuah kapal raksasa yang memuat milliaran jiwa manusia. Mereka hidup dalam satu kapal raksasa. Bila ada diantara penumpang kapal itu yang membocorkan badan kapal maka air laut akan masuk ke dalam kapal. Bila air laut masuk ke dalam kapal maka bisa membuat kapal tenggelam, bila kapal tenggelam yang bakal mati bukan saja yang membocorkan badan kapal akan tetapi semua penumpang atau isi kapal bakal tenggelam dan mati. Artinya, terjadinya pemanasan global dirasakan semua penghuni bumi ini meskipun hanya sebagian saja yang merusak bumi ini.@

***

Penulis Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PD. Muhammadiyah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara

Scroll to Top