Jakarta | EGINDO.com – Puncak musim kemarau di Indonesia terjadi pada Juni, Juli, dan Agustus 2025. Hal itu prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan disampaikan oleh Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers daring.
Namun, laporan terbaru BMKG menunjukkan, musim kemarau belum terjadi secara merata. Dalam unggahan di akun resmi Instagram @infobmkg, memperlihatkan bahwa cuaca ekstrem masih berpeluang terjadi di berbagai wilayah selama musim kemarau belum merata.
Adapun penyebab musim kemarau di Indonesia belum merata, menurut Direktur Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani bahwa cuaca ekstrem masih terjadi diberbagai wilayah selama sepekan terakhir. Padahal, cuaca secara umum sudah memasuki fase peralihan dari musim hujan menuju kemarau atau pancaroba.
Sementara itu stasiun meteorologi dibeberapa wilayah mencatat curah hujan sangat lebat hingga ekstrem dalam beberapa hari terakhir. Kondisi tersebut berpotensi memicu bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa meskipun sebagian wilayah mulai mengalami transisi menuju musim kemarau, dinamika cuaca skala lokal maupun regional masih cukup aktif dan mampu memicu kejadian hujan signifikan di berbagai daerah di Indonesia.
Penyebab hujan masih terjadi saat peralihan menuju musim kemarau yakni hujan dengan intensitas tinggi masih terjadi dalam beberapa hari terakhir karena pengaruh beberapa fenomena atmosfer. Salah satunya Madden-Julian Oscillation (MJO) yang saat ini berada pada fase empat atau Maritime Continent. Adapun, MJO adalah suatu gelombang atau osilasi non-seasonal yang terjadi di lapisan troposfer yang bergerak dari arah barat menuju timur dengan periode osilasi kurang lebih 30-60 hari. Fenomena tersebut memengaruhi kondisi anomali curah hujan di wilayah yang dilaluinya.
Selain MJO, BMKG juga mendeteksi aktivitas gelombang atmosfer lain, seperti Rossby Ekuatorial, Kelvin, dan Low Frequency masih terpantau aktif dan diperkirakan berlanjut dalam sepekan. Ketiga gelombang tersebut berkontribusi terhadap pertumbuhan awan hujan di wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Faktor lain yang menyebabkan sebagian wilayah Indonesia masih diguyur hujan saat masa pancaroba adalah labilitas atmosfer skala lokal di wilayah selatan Indonesia turut memperkuat proses konvektif yang menyebabkan hujan lokal dengan intensitas sedang hingga lebat.
Kemudian ada pula interaksi regional yang dipicu oleh front dingin dari Australia bagian selatan telah memicu pembentukan sirkulasi siklonik atau sistem tekanan rendah di selatan Indonesia. Fenomena tersebut meningkatkan potensi terjadinya hujan dengan durasi lebih lama dan cakupan wilayah yang luas.@
Bs/timEGINDO.com