Penggunaan Klakson “Tolilet” pada Bus Membahayakan Keselamatan, Perlu Ketegasan Aparat

Pemerhati masalah transportasi dan hukum AKBP (P) Budiyanto,SH.SSOS.MH
Pemerhati masalah transportasi dan hukum AKBP (P) Budiyanto,SH.SSOS.MH

Jakarta|EGINDO.co  Pemerhati transportasi dan hukum, AKBP (Purn.) Budiyanto, S.H., S.Sos., M.H., menyoroti maraknya penggunaan klakson “tolilet” pada bus yang dinilai sangat mengganggu dan berpotensi membahayakan keselamatan berlalu lintas. Ia menegaskan bahwa sudah saatnya aparat penegak hukum bertindak tegas dan konsisten dalam menertibkan penggunaan klakson tersebut.

“Penggunaan klakson ‘tolilet’ telah menimbulkan korban jiwa. Seorang anak kecil meninggal dunia karena berburu bus yang memasang klakson ini. Suaranya yang sangat nyaring dan memekakkan telinga tidak hanya mengganggu konsentrasi pengemudi bus itu sendiri, tetapi juga pengguna jalan lainnya,” ujar Budiyanto.

Selain faktor kebisingan yang berlebihan, klakson “tolilet” juga dapat berdampak negatif terhadap sistem pengereman bus. Banyak bus menggunakan sistem rem berbasis angin, dan seringnya penggunaan klakson ini berpotensi menyebabkan tekanan angin berkurang, sehingga mengganggu fungsi rem. Bahkan, pernah terjadi kecelakaan lalu lintas akibat rem blong yang disebabkan oleh kurangnya stok angin.

Aturan Sudah Jelas, tetapi Pengawasan Lemah

Budiyanto mengungkapkan bahwa Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pernah merekomendasikan agar klakson “tolilet” dilarang dipasang pada bus. Namun, dalam praktiknya, klakson ini masih banyak digunakan karena lemahnya pengawasan serta kurangnya ketegasan dalam penegakan hukum.

Menurutnya, tanggung jawab tidak hanya berada pada aparat penegak hukum, tetapi juga pada pemilik perusahaan bus. “Banyak pemilik bus yang kurang peduli dan membiarkan pengemudi tetap menggunakan klakson ini. Padahal, kolaborasi antara pemilik bus dan aparat sangat penting untuk memastikan keselamatan berlalu lintas,” tegasnya.

Budiyanto menegaskan bahwa aturan mengenai standar bunyi klakson sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Batas kebisingan klakson yang diperbolehkan adalah minimal 83 desibel dan maksimal 118 desibel. Klakson “tolilet” jelas melampaui batas tersebut, sehingga tidak memenuhi persyaratan teknis dan kelaikan jalan.

Perlunya Ketegasan dalam Penegakan Hukum

Sebagai langkah penindakan, aparat penegak hukum dapat menerapkan Pasal 285 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pelanggar dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp500.000. Selain itu, klakson yang tidak sesuai standar harus dicopot di tempat kejadian sebagai barang bukti.

“Jika tidak ada tindakan nyata, kejadian serupa bisa terus berulang. Apakah kita harus menunggu korban berikutnya? Saya kira tidak. Kuncinya adalah kolaborasi antara pengemudi, pemilik bus, dan aparat penegak hukum untuk bersama-sama mengawasi dan memastikan aturan dipatuhi,” ujar Budiyanto.

Ia juga menekankan bahwa pengemudi yang tetap membandel harus diberikan sanksi tegas guna menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab bahwa tindakan mereka dapat membahayakan keselamatan lalu lintas.

“Sudah saatnya semua pihak, terutama pengemudi dan pemilik bus, menyadari bahwa pemasangan klakson ‘tolilet’ membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat. Aparat harus berani dan konsisten dalam menegakkan aturan demi keselamatan bersama,” pungkasnya. (Sadarudin)

Bagikan :
Scroll to Top