Jakarta | EGINDO.com – Indonesia perlu menambah pabrik biodiesel baru, bila mengimplementasikan B-50. Saat ini, kebijakan biodiesel nasional masih bergantung pada campuran bahan bakar solar dengan minyak nabati yang bersumber dari minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Pada 1 Januari 2025, pemerintah akan memulai penerapan B40, yakni campuran 60% bahan bakar solar dan 40% bahan bakar nabati (BBN) dari minyak kelapa sawit.
Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo dalam acara 20th International Palm Oil Conference (IPOC) yang digelar di Jakarta mengatakan program mandatori biodiesel akan terus meningkat, menuju target persentase yang lebih tinggi seperti B50, B60, hingga mencapai B100. Biodiesel tidak hanya berasal dari minyak sawit; bahan bakar ramah lingkungan ini juga dapat dihasilkan dari minyak nabati lainnya, seperti minyak kelapa, minyak jarak, hingga minyak dari limbah pertanian.
Terkait kebutuhan biodiesel yang semakin besar, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo menyatakan bahwa untuk mempersiapkan B50, Indonesia perlu menambah 7-9 pabrik biodiesel baru. “Perlu dibangun sekitar 7-9 pabrik lagi, atau meningkatkan kapasitas dari pabrik-pabrik yang ada,” kata Edi.
Menurutnya, total investasi dari pembangunan pabrik baru tersebut dapat mencapai sekitar USD 360 juta atau setara dengan Rp 5,64 triliun. Peluang investasi ini cukup besar, pemerintah mungkin perlu mengalokasikan sekitar USD 360 juta untuk tambahan investasi. Meski demikian, kapasitas produksi biodiesel yang ada dinilai masih mencukupi untuk B40, didukung oleh 24 badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) dengan kapasitas produksi mencapai 15,8 juta kilo liter (kL). Kekurangan sekitar 0,3 juta kL untuk B40, tetapi dengan BU BBN yang ada, pihaknya masih bisa mencukupi kebutuhan itu.@
Bs/timEGINDO.com