Jakarta | EGINDO.com – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengingatkan bahwa realisasi B50 akan mengorbankan banyak hal, mengingat kondisi sawit tanah air mengalami stagnasi produksi. Hal itu dikatakan Ketua Umum Gapki, Eddy Martono dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, dengan B50 melihat kondisi yang stagnan itu maka (ekspor) akan turun 6 juta ton. Dengan turunnya ekspor, upaya peningkatan produksi juga akan semakin terhambat. Eddy juga mengingatkan bahwa pungutan ekspor yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi sumber pendanaan utama untuk banyak hal, termasuk pemermajaan sawit rakyat (PSR).
Katanya pemerintah saat ini sudah tidak bisa lagi menunda upaya percepatan PSR, mengingat produksi minyak sawit mentah (CPO) hingga Agustus 2024 hanya mencapai 36,27 juta ton atau lebih rendah 4,86% (YoY) dari tahun 2023. Sementara pada saat bersamaan konsumsi dalam negeri hingga Agustus 2024 terus meningkat mencapai 15,57 juta ton atau naik 1,94% (YoY) dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Eddy juga mengingatkan, berkurangnya ekspor secara langsung turut membuat menghambat realisasi program biodiesel, sedangkan satu sumber pembiayaan untuk program tersebut berasal dari pungutan ekspor yang dihimpun oleh BPDP.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menargetkan program biodiesel 50 (B50) dapat mulai diimplementasikan pada tahun 2026. Dimana Andi memastikan produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia sebagai bahan dasar untuk B50 ini mencukupi.
Dijelaskannya bahwa saat ini produksi sawit mentah salam negeri mencapai 46 juta ton. Sementara kebutuhan untuk program B50 hanya mencapai 5,3 juta ton. CPO produksinya 46 juta ton, sekarang dalam negeri (kebutuhan) dipakai 20 juta ton, ekspor 26 juta ton, jadi tidak ada masalah.@
Bs/timEGINDO.com