Jakarta|EGINDO.co AKBP (Purnawirawan) Budiyanto, S.H., S.Sos., M.H., seorang pemerhati transportasi dan hukum, menegaskan pentingnya penerapan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum lalu lintas di Indonesia. Asas ini menggarisbawahi bahwa penggunaan hukum pidana harus menjadi langkah terakhir setelah upaya lain dilakukan, seperti pemberian teguran atau edukasi.
Budiyanto menjelaskan bahwa tilang (bukti pelanggaran lalu lintas) merupakan salah satu bentuk penegakan hukum yang memberikan sanksi pidana, baik berupa kurungan maupun denda. Namun, menurutnya, sebelum menjatuhkan sanksi pidana, petugas memiliki kewenangan diskresi untuk menilai setiap pelanggaran. Penegakan hukum, lanjutnya, dapat dilakukan melalui tindakan represif yustisial (tilang) atau represif non-yustisial (teguran).
“Setiap pelanggaran lalu lintas memiliki tingkat kesalahan yang berbeda, yakni ringan, sedang, atau berat. Oleh karena itu, petugas yang berada di lapangan memiliki otoritas untuk menilai apakah pelanggaran tersebut layak dikenakan sanksi tilang atau cukup diberikan teguran dan arahan,” ujarnya.
Budiyanto menekankan bahwa teguran dan tilang sama-sama merupakan bagian dari penegakan hukum, namun memiliki efek jera (deterrence effect) yang berbeda. Pilihan metode penegakan hukum disesuaikan dengan bobot pelanggaran dan situasi di lapangan, tanpa mengurangi nilai penegakan hukum itu sendiri.
“Penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas tidak selalu harus melalui tilang. Tindakan edukasi atau teguran, terutama untuk pelanggaran yang lebih ringan, akan memberikan kesan yang lebih humanis dan elegan di mata masyarakat,” jelas Budiyanto.
Ia juga menambahkan bahwa prinsip ultimum remedium memberikan ruang bagi petugas untuk memilih metode penegakan hukum yang paling tepat, apakah melalui teguran sosial atau sanksi pidana. Teguran, yang menekankan pada sanksi sosial, dianggap lebih sesuai untuk pelanggaran ringan, sementara tilang membawa konsekuensi pidana berupa kurungan atau denda.
“Dengan demikian, penegakan hukum lalu lintas harus selalu mempertimbangkan tingkat pelanggaran serta pendekatan yang lebih edukatif dan manusiawi, tanpa selalu bergantung pada sanksi pidana,” tutup Budiyanto. (Sn)Â