Oleh : Fae Sarumaha S.H.,M.H., CLA.,CTL.
Penegakan hukum di Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius. Hukum, yang seharusnya menjadi instrumen keadilan dan kepastian bagi seluruh masyarakat, justru sering kali menunjukkan ketidakadilan, terutama terkait perlakuan berbeda berdasarkan status sosial.
Hukum idealnya berlaku untuk semua kalangan tanpa memandang kedudukan, jabatan, atau kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum di negeri ini sering kali berbanding terbalik dengan prinsip-prinsip tersebut. Masyarakat yang memiliki akses kekuasaan atau berada di strata sosial yang lebih tinggi sering kali mendapat perlakuan istimewa dibandingkan dengan masyarakat biasa.
Dua puluh enam tahun sudah reformasi berjalan dan supremasi hukum kita masih maju-mundur dan tebang pilih untuk kepentingan kalangan terbatas, status sosial masih jadi pembeda dalam perlakuan penerapan hukum, para kaum strata sosial yang tinggi memperoleh priveilage perlakuan yang berbeda dibandingkan masyarakat yang memiliki strata sosial yang rendah.
Masyarakat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi, kekuasaan atau sekedar memilki acces terhadap penguasa memiliki perlakuan yang lebih istimewa daripada masyarakat yang berasal dari kalangan biasa yang tidak mempunyai kedudukan dan jabatan.
Persamaan di hadapan hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 D ayat 1, ditangan para penegak hukum nyatanya tidak berjalan dengan efektif dan baik. Hukum yang berlaku terkadang hanya berpihak kepada segelintir orang saja.
Fenomena ini tampak jelas dalam sejumlah kasus yang mencuri perhatian publik. Salah satunya adalah kasus Gerogorius Ronal Tannur, anak mantan anggota DPR RI, yang didakwa atas dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Meski Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman 12 tahun penjara, Pengadilan Negeri Surabaya justru menjatuhkan vonis bebas pada 24 Juli 2024.
Kasus lain yang tak kalah mencolok adalah kasus I Nyoman Sukena, yang ditahan karena memelihara hewan dilindungi, yakni Landak Jawa. Meskipun awalnya didakwa berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Jaksa Penuntut Umum akhirnya meminta pembebasan, yang kemudian dikabulkan oleh majelis hakim.
Selain itu, kasus dugaan salah tangkap terhadap beberapa terpidana dalam kematian Vina di Cirebon menambah panjang daftar ketidakadilan. Para terpidana, yang sudah menjalani hukuman penjara selama 6 hingga 8 tahun, kini mengajukan Peninjauan Kembali (PK) setelah terungkap bahwa mereka dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Hukum yang seharusnya memberikan keadilan, kepastian, dan manfaat bagi seluruh masyarakat, sering kali terseret oleh kepentingan tertentu. Lemahnya integritas dan mentalitas aparat penegak hukum turut berkontribusi pada ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat.
Untuk itu, diperlukan upaya serius untuk memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia agar dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Penegakan hukum harus bebas dari intervensi dan kepentingan tertentu, serta dijalankan dengan integritas dan tanggung jawab yang tinggi demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya. (Sn)
*****
Penulis adalah pemerhati masalah hukum dan praktisi hukum berdomisili di Jakarta