Jakarta|EGINDO.co Pemerhati masalah transportasi dan hukum, AKBP (Purn) Budiyanto, S.H., S.Sos., M.H., menyatakan bahwa pembangunan transportasi umum merupakan tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Transportasi umum, menurutnya, adalah salah satu bentuk layanan publik yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi Indonesia.
“Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak bagi masyarakat,” ungkap Budiyanto.
Ia menambahkan bahwa dasar ini mempertegas kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan layanan publik di berbagai sektor, termasuk transportasi. Menurutnya, Undang-Undang No. 19 Tahun 2005 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pasal 66 mengatur bahwa pemerintah dapat memberikan penugasan kepada BUMN untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dalam pelaksanaannya, BUMN berhak menerima kompensasi atau biaya dari pemerintah.
Budiyanto juga menekankan bahwa penyediaan layanan transportasi, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan, adalah tanggung jawab pemerintah. “Bisa kita bayangkan jika penyediaan dan pembangunan transportasi sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta, bagaimana nasib sistem transportasi di daerah-daerah terpencil yang secara finansial tidak menguntungkan?” ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah dapat memberikan penugasan kepada BUMN untuk melaksanakan fungsi pelayanan publik dengan mendapatkan kompensasi. “Transportasi, sebagai salah satu bentuk layanan publik, berhak mendapatkan kompensasi sebagai bentuk dukungan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat,” jelas Budiyanto.
Lebih lanjut, Budiyanto menegaskan bahwa keberadaan transportasi umum harus diutamakan untuk pelayanan, bukan untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk hadir dalam penyelenggaraan layanan tersebut melalui program Public Service Obligation (PSO). “Dengan adanya PSO, pelayanan transportasi dapat tetap berjalan dengan prima, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang tidak layak secara ekonomi,” katanya.
Menanggapi pandangan sebagian masyarakat yang mengkritisi biaya pembangunan transportasi yang dianggap membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Budiyanto menyebut bahwa anggapan tersebut kurang tepat. “Pembangunan transportasi tidak hanya bergantung pada APBN, tetapi juga dapat melibatkan pihak ketiga atau investor. Contohnya adalah proyek kereta cepat ‘Whoosh’ yang menelan biaya lebih dari Rp100 triliun,” terangnya.
Ia menegaskan bahwa meskipun pembiayaan proyek besar seperti kereta cepat “Whoosh” dianggap sangat besar, pandangan ini tetap wajar sebagai bentuk partisipasi dan tanggung jawab terhadap penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Namun, ia kembali mengingatkan bahwa pada dasarnya pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan transportasi yang aman, nyaman, dan terjamin keselamatannya bagi masyarakat.
“Pemerintah berkewajiban memberikan subsidi dalam skema PSO agar layanan transportasi dapat terus berjalan dengan baik dan melayani masyarakat secara maksimal. Transportasi umum ditekankan sebagai layanan publik, bukan sebagai sarana mencari keuntungan,” tutup Budiyanto. (Sn)