Jakarta|EGINDO.co Laporan S&P Global menunjukkan bahwa Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia mengalami penurunan dari angka 49,3 pada bulan Juli menjadi 48,9 pada bulan Agustus 2024. Penurunan ini mencerminkan pelambatan kinerja industri padat karya di tanah air.
Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, menjelaskan bahwa penurunan PMI ini berkaitan dengan melemahnya kinerja sektor manufaktur global akibat tekanan permintaan. Selain itu, penurunan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, kawasan Eropa, dan Amerika Serikat harus diperhatikan dengan seksama.
PMI yang berada di bawah angka 50 menunjukkan bahwa sektor industri Indonesia kini berada dalam fase kontraksi. Kondisi serupa juga dialami oleh sejumlah negara mitra dagang Indonesia serta negara-negara ASEAN, seperti Amerika Serikat dengan indeks 48, Jepang di angka 49,8, Malaysia 49,7, dan Australia 48,5.
Meskipun ada perlambatan dalam sektor industri manufaktur, beberapa industri utama di Indonesia, seperti industri makanan dan minuman serta kimia farmasi, tetap menunjukkan pertumbuhan tahunan di atas lima persen hingga triwulan II-2024. Industri logam dasar juga mencatat pertumbuhan sebesar 18,1 persen berkat hasil dari program hilirisasi.
Pemerintah akan fokus memberikan dukungan kepada industri padat karya yang belum pulih, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Beberapa kebijakan yang diterapkan termasuk Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk melindungi serta meningkatkan daya saing industri padat karya domestik.
Kebijakan BMTP mencakup produk pakaian, tirai, dan kain, sedangkan BMAD berlaku untuk produk poliester staple fiber dari India, Tiongkok, dan Taiwan.
Sumber: rri.co.id/Sn