Jakarta|EGINDO.co Pemerhati masalah transportasi dan hukum Budiyanto mengatakan, Kecelakaan Kereta Api / Tertemper antara Kereta Api dengan pengguna jalan lain pada perlintasan sebidang yang dijaga maupun tidak dijaga relatif cukup tinggi.
Ungkapnya, data yang didapat dari DJKA (Direktorat Jenderal Perkeretaapian) bahwa periode Tahun 2018 sampai dengan Tahun 2024, jumlah kecelakaan: 1.959 kasus, dengan perincian: 1.688 kasus pada perlintasan sebidang yang dijaga dan sisanya: 271 tidak terjaga. Jumlah korban: 1.412 orang meninggal dunia (MD), 504 orang luka berat (LB), 458 orang luka ringan (LR)
Ia katakan, Kurangnya disiplin pengguna jalan lain dan ketidak tahuan cara melewati perlintasan sebidang baik yang dijaga maupun tidak ( perlintasan resmi maupun liar ), antara lain :
1. Pengendara tidak melihat kanan – kiri ruang bebas rel Kereta Api bila mau melintasi  jalur perlintasan langsung (JPL). Ada palang pintu atau tidak seharusnya berhenti sejenak memastikan Kereta Api ada yang mau lewat atau tidak.
2. Kendaraan berhenti melewati batas palang pintu ketika telah tertutup.
3. Menerobos di saat palang pintu belum terbuka sempurna dan alarm masih berbunyi.
4. Menerobos JPL pada saat palang pintu tertutup sempurna sebelum Kereta Api datang.
Mantan Kasubdit Bin Gakkum AKBP (P) Budiyanto SH.SSOS.MH menjelaskan, Dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ terdapat kesamaan beleid keselamatan, yakni kendaraan apapun harus mendahulukan Kereta Api yang melintas. Pasal 181 UU Nomor 23 Tahun 2007 setiap orang dilarang berada diruang manfaat jalur Kereta Api dan dilarang menggunakan jalur Kereta Api untuk kepentingan lain selain untuk Angkutan Kereta Api. Pasal 94 ( 1 ) untuk keselamatan perjalanan Kereta Api dan pemakai jalan, perlintasan yang tidak memiliki izin harus ditutup. ( 2 ) penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud ayat ( 1 ) dilakukan oleh Pemerintah dan Pemda.

Lanjutnya, Sanksi pengguna jalan yang kurang disiplin pada saat melintas perlintasan sebidang dapat dikenakan Pidana Undang – Undang Lalu lintas dan ganti rugi. Pasal 296 UU Nomor 22 Tahun 2009, berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor pada perlintasan antara Kereta Api dan jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu Kereta Api sudah mulai ditutup, dan atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 ( tiga ) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000 ( tujuh ratus lima puluh ribu rupiah ).
“Dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian bahwa istilah dalam Kereta Api bukan menabrak kendaraan tapi kendaraan tertemper Kereta Api karena Kereta Api punya jalur sendiri di Rel yang dilanggar kendaraan lain,”jelas Budiyanto.
Dikatakannya, dengan demikian Kereta Api berhak menuntut kepada siapa saja yang menghalangi rel yang dilintasi sehingga menimbulkan kecelakaan, kerusakan sarana Kereta Api dan kerugian pelayanan. Setiap kejadian kecelakaan lalu lintas diawali dari pelanggaran lalu lintas.
“Variabel – variabel yang tercermin dari kurangnya disiplin pengguna jalan lain merupakan embrio penyebab terjadinya kecelakaan,”tegasnya.
Menurut Budiyanto, Perlu ada langkah – langkah evaluasi keselamatan melalui audit keselamatan. Melakukan mitigasi kecelakaan dengan melalui kegiatan, antara lain: Edukasi / sosialisasi, dibangun palang pintu, membangun FO, UP dan frontage dan pemasangan alat/ sensor/ sinyal keselamatan JPL (jalur perlintasan langsung).
@Sadarudin