Jakarta | EGINDO.co – Harga Karbon diperkirakan USS$ 2 – US$ 18 per ton CO2. Banyak kalangan menilai penetapan harga karbon itu masih sangat rendah dan dinilai masih bertentangan dengan rencana pemerintah mengurangi emisi karbon.
Mengutip pernyataan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Parada memperkirakan, harga karbon yang akan ditetapkan berada pada rentang US$ 2 – US$ 18 per ton CO2. Harga terserbut setara Rp 30 ribu – Rp 270 ribu (dengan asumsi kurs Rp 15.000).
Harga perkiraan karbon di Indonesia masih terlalu rendah bila dibandingkan dengan harga karbon pada beberapa negara di Asia Tenggara.
Mengutip keterangan resmi Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting pada Jumat (21/7/2023) lalu menilai harga karbon perkiraan Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Dicontohkannya, Singapura menetapkan harga karbon sebesar S$5,36 per ton CO2e atau sebesar Rp 59.000 (asumsi kurs Rp11.000).
Kemudian harga karbon di Korea Selatan mencapai US$ 30 per ton CO2e atau sebesar Rp 450 ribu. Menurut Pius, rendahnya harga karbon menjadi kontradiktif dengan target Indonesia untuk pensiun dini dari batubara karena perdagangan karbon justru berpeluang memberikan justifikasi untuk meneruskan PLTU dengan membeli kuota karbon jika melewati batas emisi yang ditentukan.
Dinilainya terdapat beberapa tantangan jika regulasi yang dikeluarkan pemerintah belum matang, serta kurang pengawasan dan transparansi dalam pelaksanaannya. Pertama, belum ada regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk membuka jumlah emisi karbon yang dihasilkan.
Kedua, perusahaan berpotensi lebih memilih membeli karbon dibandingkan membangun proyek hijau seperti pembangkit listrik tenaga energi terbarukan.
Pius menilai, solusi untuk mengatasi perubahan iklim akan semakin baik apabila perdagangan karbon di Indonesia dilakukan bersamaan dengan aksi-aksi lainnya untuk mengurangi jejak karbon. Misalnya, pajak karbon, peningkatan portofolio hijau, dan transisi energi ke energi terbarukan.
Menurutnya, alih-alih hanya mendorong aturan perdagangan karbon, pemerintah seharusnya juga fokus mempercepat implementasi pajak karbon (carbon tax) yang diatur dalam UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pasalnya, sejak diresmikan pada akhir 2021 pemerintah telah menunda penerapan aturan ini sebanyak dua kali hingga 2025 mendatang.@
Bs/timEGINDO.co