Oleh: Fadmin Malau
Heritage artinya warisan. Istilah Heritage memiliki pengertian sejarah, tradisi dan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa atau negara selama bertahun-tahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter bangsa.
Menurut Kamus Oxford halaman 202. Heritage menurut Unesco adalah warisan (budaya) masa lalu yang dilestarikan dari generasi ke generasi sebab memiliki nilai-nilai luhur. Peter Howard dalam bukunya berjudul, “Heritege Management Interpretation Identity” memberi makna heritage adalah segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya material maupun alam.
Dijelaskan dalam bukunya, heritage sebagai warisan budaya dapat berupa kebendaan (tangible) seperti monument, arsitektur bangunan, tempat peribadatan, peralatan, kerajinan tangan dan warisan budaya yang tidak berwujud kebendaan (intangible) berupa berbagi atribut kelompok atau masyarakat seperti cara hidup, folklore, norma dan tata nilai.mKota Medan banyak heritage tetapi masih ditelantarkan sehingga warisan memiliki nilai-nilai sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa terancam punah.
SEJARAH MEDAN
Mulanya Medan perkampungan dibuka tahun 1590 oleh Guru Patimpus, cucunya Raja Singa Mahraja yang memerintah negeri Bakerah Tanah Karo. Lokasinya di daerah bertemunya Sungai Deli bertemu dan Sungai Babura. Kondisi tanah waktu itu berawa-rawa dengan luas lebih kurang 4000 Ha.
Keistimewaan lokasi karena beberapa sungai melintasi perkampungan Medan yang bermuara ke Selat Malaka. Sungai itu: Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling atau Sei Kera.
Medan karena sebagian masyarakat menilainya sebagai tempat atau area bertemunya berbagai suku maka disebut sebagai medan pertemuan. Para saudagar Arab yang datang ke Medan melihat tanah kondisi tanah datar atau rata maka disebut mereka Median (sesuai dengan Bahsa Arab). Memang kondisi tanah rata mulai pantai Belawan sampai ke Pancurbatu. Dari sebutan Median menjadi Medan.
Masyarakat Karo menyebut Medan yang berarti sehat. Dalam Kamus Batak Karo-Indonesia ditulis Darwin Prinst SH tahun 2002, kata “Medan” berarti “menjadi sehat” ataupun “lebih baik”. Bila dikaitkan dengan Guru Patimpus juga seorang tabib yang memiliki keahlian pengobatan tradisional Batak Karo pada masa itu.
Kota Medan dikenal dengan nama Tanah Deli itu sejak zaman penjajahan Belanda dan selalu dirangkai dengan sebutan Medan-Deli. Setelah Indonesia merdeka sebutan itu tidak popular lagi tapi tahun 1970-an masih ada yang menyebut Medan Deli dan kini sudah tidak terdengar lagi.
Tanah Deli itu popular ketika zaman Belanda karena Belanda mendatangkan para buruh kebun dari Jawa ke Tanah Deli, bukan ke Medan. Waktu itu juga suku yang ingin ke Tanah Deli sehingga seorang ulama, pujangga, wartawan Buya Hamka menulis novel berjudul Merantau ke Deli.
Kampung Medan menjadi kota karena terbuka perdagangan dan perekonomian di Tanah Deli Medan pada masa kesultanan atau masa kolonial. Perdagangan itu terbuka sebab dibuka perkebunan tembakau oleh saudagar tembakau bernama Nien Huys di Tanah Deli.
Nien Huys tahun 1863 berhasil mengembangkan tanaman tembakau sebab diberi tanah oleh Sultan Deli seluas 3000 hektar atau 4.000 bahu (1 bahu = 0,75 hektar) di daerah Labuhan.
Ternyata hasil tembakau (1864-1865) yang ditanam itu sangat baik dan sampai ke Rotterdam Belanda. Kualitas tembakau yang baik ini mengangkat nama Tanah Deli karena disebut Tembakau Deli. Disebabkan berkembang pesat maka Nien Huys (1866) melakukan ekspansi perkebunan, membuka lahan baru dari Labuhan ke daerah Martubung, terus ke Klumpang (daerah Marelan) dan mendekat ke kampung Medan.
Sejak ekspansi perkebunan tembakau menjadi sektor perkebunan sebagai tonggak perekonomian di Tanah Deli, sejak itu pula banyak buruh perkembunan didatangkan dari Jawa, dari Tiongkok, dari India (kuli kontrak).
SEJARAH MEDAN VERSI KOLONIAL
Pemerintah Kota (Pemko) Medan menetapkan 1 Juli 1590 sebagai Hari Jadi Kota Medan. Tahunnya sama dengan dibukanya kampung oleh Guru Patimbus.
Kalangan akademisi berpendapat lain. Akademisi Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr. Ichwan Azhari. Sedangkan versi kolonial Pemerintah Belanda menetapkan Medan sebagai kota pada 1 April 1909. Kota Medan berdiri 1 April 1909, sejak diakui resmi sebagai sebuah gemeente oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.B. van Heutz di Buitenzorg. Namun walikota pertama Gemeente Medan, Daniel Baron Mackay, baru diangkat pada 1918 dan ia menjabat sampai dengan 1931, atau walikota Medan terlama.
Dua negara dalam waktu singkat membuka kantor konsulatnya di Medan, yaitu: Amerika (1919) dan Kekaisaran Nippon/Jepang (1927). Ini menunjukkan pesatnya kemajuan Kota Medan bukan saja sebagai pusat pemerintahan tetapi juga perdagangan dan perkebunan. Bahkan pada 1924, sebuah pesawat Fokker dengan pilot van der Hoop mendarat di lapangan terbang darurat perkebunan Polonia milik Michelski seorang warganegara Polandia.
Lokasi ini kemudian resmi menjadi lapangan terbang Polonia pada 1928 ditandai dengan mendaratnya pesawat milik KNILM anak perusahaan KLM.
Pesawat van der Hoop pernah mendarat di lapangan pacuan kuda Deli Renverceniging di Tuntungan dan disambut oleh Sultan Deli ketika itu, Sulaiman Syariful Alamsyah. Barulah pada tahun 1978 lapangan terbang ini dikelola secara profesional.
Lapangan terbang Polonia ditutup resmi sejak 25 Juli 2013 dan seluruh aktivitasnya dipindahkan ke Kuala Namu International Airport (KNIA) di Kabupaten Deli Serdang sekitar 40 kilometer dari Kota Medan.
Kota Medan merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia bagian barat dengan keberadaa Pelabuhan Belawan dan Bandar Udara Internasional Kuala Namu yang merupakan bandara terbesar kedua di Indonesia. Berbatasan dengan Selat Malaka menjadikan Kota Medan sebagai kota perdagangan, industri dan bisnis yang sangat penting di Indonesia
Pajak Ikan Lama dibangun tahun 1887, tahun berdirinya tertera dalam buku berjudul, “Lima Puluh Tahun Kota Pradja Medan,” menjelaskan adanya pasar di Medan yakni Pajak Daging di Jalan Pembelian atau Jalan Perdagangan tahun 1886. Kemudian Pajak Ikan di Jalan Kereta Api tahun 1887 dan Pajak Sayur di Jalan Hongkong tahun 1905.
Dari sejarah berdirinya pajak-pajak tersebut diketahui bahwa Pajak Daging atau yang menjual daging di Jalan Pembelian sudah tidak ada lagi. Hal yang sama dengan Pajak Sayur di Jalan Hongkong tidak ada lagi dan tinggal Pajak Ikan di Jalan Kereta Api yang sampai kini masih ada.
Hadirnya berbagai pajak di kawasan Kesawan tidak salah karena kawasan Kesawan sejak dahulu merupakan kawasan inti kota Medan. Faktanya, kawasan Kesawan dekat dengan Stasiun Kereta Api Medan yang dahulu (masa penjajahan Belanda) adalah alat transportasi darat satu-satunya. Kemudian kawasan Kesawan juga dekat dengan Lapangan Merdeka Medan yang kala itu sebagai pusat keramaian baik siang maupun malam hari. Sampai hari ini Lapangan Merdeka Medan tetap menjadi tempat pusat keramaian.
Di kawasan Kesawan ada rumah Tjong bersaudara pemilik perusahaan yang mengendalikan aktivitas bisnis di Kota Medan namanya Tjong bersaudara maka kehadiran Pajak Ikan Lama berkat peran Tjong bersaudara yakni Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie.
BUDAYA LOKAL KOTA MEDAN
Budaya lokal di Medan berkembang sesuai dengan perjalanan sejarah dan perekonomian di kota Medan. Perkembangan perekonomian mempengaruhi budaya lokal di Kota Medan. Jelasnya Medan, Tanah Deli memiliki budaya Melayu. Namun, ketika Medan menjadi pusat perdagangan sejak zaman kolonial sampai era kemerdekaan membuat budaya lokal berkembang seiring dengan bertemunya berbagai suku bangsa di Medan.
Medan kini memiliki budaya lokal yang beragam, budaya Melayu, Jawa, Batak, Pesisir, Karo, Minang, Mandailing dan budaya suku bangsa lainnya termasuk Tionghoa.
Medan sebagai area, tempat pertemuan suku bangsa disebabkan kepentingan dagang dan ekonomi melakukan ragam budaya lokal seperti kesenian Ketoprak Dor yang sesungguhnya hanya ada di Medan atau Tanah Deli. Masing-masing suku bangsa yang datang ke Medan mengembangkan seni budayanya.
Kepentingan ekonomi dan perdagangan membuat berbagai suku bangsa berkumpul seperti di Pajak Ikan Lama terdiri dari berbagai suku bangsa yakni Mandailing, Jawa, Melayu, Padang, Batak, Arab, India, Tionghoa, Nias dan lainnya.
Ciri khas kota Medan dengan berbagai ragam budaya menjadi heritage dari aspek tidak kebendaan (intangible) yang sangat menguntungkan. Sedangkan bentuk seni budaya lokal yang ada di Medan menjadi aspek heritage kebendaan (tangible).
PEMBANGUNAN MEMORABILIA BI MEDAN
Sejalan dengan sejarah dan budaya lokal yang ada di Medan menjadi konsep pembangunan museum atau memorabilia BI Medan sehingga menjadi sesuatu atau peristiwa yang patut dikenang.
Bisa dijadikan ekspedisi “lorong waktu” yang dimulai dari era kampung kecil bernama Putri Hijau dan era pembukaan lahan perkebunan tembakau. Bau harum tembakau deli dan suasana perkebunan menjadi koleksi museum. Suasana kotta cina bagai pelabuhan bisa dibuat replika kapal yang digunakan, lalu perdagangan berbagai suku bangsa di Medan.
Gedung Bank Indonesia di Jalan Balai Kota No 4, Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, satu bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda yang masih berdiri hingga kini. Gedung dibangun tahun 1906 dan ditangani Hulswit, Fermost dan Cuypers sebagai arsiteknya.
Dulu pusat bank Belanda di Medan bernama De Javasche Bank mulai dibuka pada 30 Juli 1907. Setelah era kemerdekaan, De Javasche Bank dinasionalisasi Presiden Soekarno menjadi Bank Indonesia, yang berfungsi sebagai Bank Sentral dan Komersial sesuai dengan Undang-Undang (UU) Bank Sentral Tahun 1953. De Javasche Bank berubah menjadi Bank Indonesia Medan.
***