Oleh: Fadmin malau
sebuah kisah zaman dahulu, ada seorang pemuda melayu minangkabau jatuh cinta dengan seorang gadis batak yang tinggal di pulau Poncan, Tapanuli Tengah. Pemuda dan gadis itu saling mencintai akan tetapi cinta mereka terhalang adat (peraturan) yang berbeda diantara mereka. Adat dari si pemuda pihak si gadis yang harus mendatangi si pemuda, sebaliknya adat dari si gadis pihak si pemuda yang menjemput si gadis.
Apa jadinya, meskipun keduanya saling mencinta akan tetapi keduanya saling menunggu. Alhasil keinginan untuk bersatu dalam perkawinan tidak mungkin terwujud. Bila kedua belah pihak saling bertahan dengan adat yang mereka punya maka cinta kedua anak manusia yang berlainan jenis itu tidak dapat bersatu.
Kedua belah pihak tidak bisa mengalah sebab adat (peraturan) mengharuskan begitu. Bila cinta telah berbicara segala upaya dilakukan, akhirnya lahirlah adat sumando yang merupakan kolaborasi adat minangkabau dan adat batak, maka kedua anak manusia yang berlainan jenis itu dapat menikah.
Si pemuda minangkabau meminang si gadis dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang yang disebut jinamu sebagai tanda pengikat ketika dilaksanakan ijab qabul sewaktu pernikahan. Si gadis tidak lagi mengenal tuhor atau jurjuran dalam adat batak. Meskipun begitu tanggungjawab keluarga ada pada si pemuda dan anak yang lahir dari hasil penikahan memakai marga dari orangtua laki-laki si anak. Artinya, sama dengan adat batak dari si gadis.
Ketika mereka telah menikah, pembagian harta pusaka tergantung kepada jauh dekatnya hubungan keluarga, tidak dipakai adat dari si pemuda dan adat dari si gadis maka seandainya mereka bercerai, si pemuda (suami) yang meninggalkan rumah kediaman dan si gadis (istri) tetap tinggal di rumah kediaman mereka.
Kata sumando berasal dari kata suman yang dalam bahasa batak artinya serupa. Lantas sumando dapat diartikan hampir serupa tetapi tidak sama dengan adat minangkabau dan juga adat batak. Kata sumando dapat juga diartikan secara luas yakni dipasuman-suman.
Adat sumando menjadi satu kesatuan dalam ruang lingkup suku pesisi yakni adat istiadat pesisi, kesenian pesisi, bahasa pesisi dan bahkan makanan pesisi. Bisa dilihat dan dirasakan, adat, kesenian, bahasa dan makanan merupakan kolaborasi (perpaduan) antara minangkau dan batak, akan tetapi bukan minangkabau dan bukan pula batak.
Sikambang, kesenian yang lahir dari adat sumando dan berlaku bagi masyarakat di pesisi pantai barat sumatera, mulai dari meulaboh (banda aceh), tapanuli, minangkabau dan bengkulu. Kesenian sikambang merupakan tari dan nyanyi yang berisi falsafah hidup adat sumando jadi bukan dari kebudayaan batak dan juga minangkabau. Artinya, si pemuda melayu minangkabau dan si gadis batak yang tadinya tidak bisa bersatu (menikah) karena adat mereka, kini sudah bisa bersatu karena adanya adat sumando.
Dalam perjalanan adat sumando lahir kesenian sikambang sebagai budaya yang tumbuh dan berkembang di pesisi pantai barat sumatera yang bermula dari pincalang yakni kapal layar sebagai bagian hidup dari masyarakat pesisi yang berada di tepi pantai, dekat dan menyatu dengan samudra Indonesia dan lautan lepas.
Kapal layar (pincalang) sebagai pemersatu daerah pesisi pantai barat sumatera dan bagian dari kehidupan manusia seiring dengan alam yang memiliki gelombang ombak bergulung-gulung, saling sambung-menyambung dan bersahutan melahirkan nyanyian syahdu. Riak dan deburan ombak yang lemah gemulai dan terkadang keras dan besar memecah karang di tepi pantai melahirkan gerak tari yang lemah gemulai akan tetapi bisa saja tiba-tiba menyentak keras.
Masyarakat yang hidup di atas kapal layar (pincalang) dan juga masyarakat yang mengharungi samudra untuk mencari ikan (nelayan) di pantai barat sumatera dari tapaktuan, singkil, sorkam, barus, natal, pariaman, singkuang dan bahkan sampai ke muko-moko (bengkulu/sumatera barat) awal mula sikambang berkembang.
Ketika berada di tengah lautan (samudra) Indonesia masyarakat yang berada di atas kapal layar bersikambang dengan memukul papan pinggiran perahu sebagai instrument dan diikuti dengan siulan pengganti melodi serta juga memukul besi-besi yang ada di kapal layar sebagai gong, terciptalah satu kesatuan bunyi alami antara instrument dan orang yang bernyanyi di tengah samudra ketika malam yang sepi. Syahdu menyayat hati, berisi petuah untuk pelita hidup.
Menurut sejarah nyanyian di tengah samudra dari masyarakat yang berada di kapal layar itu disempurnakan dengan beberapa jenis alat musik oleh para tokoh kesenian pesisi seperti gandang (gendang) batapik sebagai pengganti dari memukul dinding kapal layar, singkadu gong (canang) sebagai pengganti besi-besi yang ada di kapal layar yang dipukul ketika bersikambang. Siulan yang bersikambang diganti dengan biola atau harmonika dan kini juga dipakai acordion.
Kini kesenian sikambang menjadi bagian dari acara adat istiadat masyarakat pesisi adat sumando. Kesenian sikambang ditampilkan ketika upacara perkawinan adat sumando, ketika penyambutan tamu yang dihormati, ketika memasuki rumah baru dan semua aktivitas kehidupan masyarakat pesisi ditampilkan kesenian sikambang, terkecuali pada upacara keagamaan.
***