Jakarta | EGINDO.co – Pemerintah atau negara melalui Departemen Perdagangan RI harus jujur, transparan, terbuka, sampaikan kepada masyarakat, jelaskan berapa devisa yang diterima pemerintah terhadap pungutan ekspor CPO dan turunannya sehingga rakyat mengetahui uang dari rakyat untuk negara.
Hal itu dikatakan Dr. Rusli Tan, SH, MM seorang pengamat sosial, ekonomi kemasyarakatan kepada EGINDO.co Rabu (23/3/2022) di Jakarta pemerintah menaikkan batas atas pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya.
Katanya masyarakat senang negara mendapat banyak uang dari devisa kelapa sawit atau CPO bila jelas peruntukkannya. “Jangan tertutup. Bila tertutup terjadi polemik sehingga ada pihak yang dirugikan, nanti seolah-olah pengusaha yang disalahkan karena harga minyak goreng mahal,” kata Rusli Tan.
Menurut perhitungan Rusli Tan, dari pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya, pemerintah mendapat uang begitu banyak. Dikatakannya, dari satu ton CPO yang diekspor dengan harga 1500 dollar US maka negara mendapat 175 dolar US. Bila diekspor satu juta ton CPO maka pemerintah atau negara mendapat devisa 375 juta dolar US. “Dana yang diperoleh begitu banyak dari pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya itu dibuat kemana. Harus jelas karena itu uang rakyat,” kata Rusli Tan mempertanyakan.
Menurutnya wajar rakyat mempertanyakan karena jangan lagi rakyat dibebani dengan harga minyak goreng yang mahal dan langka. Dana yang besar dari pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya itu harusnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi yakni subsidi minyak goreng sehingga harga minyak goreng terjangkau masyarakat.
“Sudah menjadi tugas pemerintah menyediakan minyak goreng yang berkualitas dan dapat dijangkau semua masyarakat karena merupakan kebutuhan pokok masuk dalam Sembilan bahan pokok,” kata Rusli Tan menegaskan.
Dikatakan Rusli Tan, berita tentang pemerintah menaikkan batas atas pungutan ekspor (PE/levy) minyak sawit mentah atau CPO dan produk turunannya hingga harga CPO di atas US$1.500 per ton itu harus diekspos secara luas agar masyarakat mengetahuinya dan pemerintah menjelaskan peruntukkan dana pungutan CPO itu.
Sebagaimana diberitakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada Kementerian Keuangan yang disahkan pada Kamis (17/3/2022) lalu menyebutkan juga besaran batas bawah pungutan ekspor juga mengalami kenaikan yang cukup lebar dari ketetapan sebelumnya.
Disebutkan batas atas pengenaan tarif progresif dari semula dipatok US$1.000 per ton belakangan dinaikkan menjadi US$1.500 per ton. Saat harga CPO di atas US$1.500 per ton maka tarif PE yang dikenakan sebesar US$375.
Sedangkan, tarif batas bawah ditetapkan sebesar US$55 saat harga CPO di bawah atau sama dengan US$750 per ton. Tarif itu akan terus bertambah sebanyak US$20 setiap kenaikan harga CPO US$50 hingga menyentuh batas atas pungutan di posisi harga US$1.500 per ton.
Sementara itu, besaran tarif untuk batas bawah Refined, Bleached, Deodorized (RDB) Palm Oil yang digunakan untuk minyak goreng juga mengalami kenaikan menjadi US$38 atau melesat 52 persen dari ketetapan awal di angka US$25. Hanya saja, batas bawah PE produk RDB Palm Olein dalam kemasan bermerek dan dikemas dengan berat netto di bawah atau sama dengan 25 kilogram tidak mengalami perubahan alias tetap sebesar US$20 saat harga CPO di bawah atau sama dengan US$750 per ton.
Adapun batas bawah biodiesel dari minyak sawit dengan kandungan metil ester lebih dari 96,5 persen tidak mengalami kenaikan tarif. Saat ini tarif biodiesel sebesar US$25 saat harga CPO di bawah atau sama dengan US$750. Adapun, seluruh produk turunan CPO itu akan mengalami kenaikan tarif sebesar US$16 setiap kenaikan US$50 harga CPO dunia.@
Fd/TimEGINDO.co