Oleh: Fadmin Malau
Tilang Uji Emisi kenderaan di DKI Jakarta yang bakal dilaksanakan pada 13 November 2021 batal diberlakukan. Pemberlakuan itu karena pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta telah menyediakan layanan uji emisi untuk kendaraan bermotor bersama pihak swasta pada beberapa titik.
Tilang Uji Emisi kenderaan itu dilakukan untuk mendukung implementasi Peraturan Gurbernur (Pergub) Nomor 66 Tahun 2020 mengenai penciptaan langit biru Jakarta dengan mengatur emisi yang dihasilkan dari kendaraan. Akhirnya bagi kendaraan yang mengabaikan kebijakan itu dikenakan sanksi tilang yang direncanakan mulai 13 November 2021 mendatang yakni pengenaan tarif parkir tertingi sampai dengan denda tilang Rp250.000 untuk motor dan Rp500.000 untuk mobil.
Kualitas udara ditentukan dari tingkat polusi udara yang terjadi. Pencemaran udara (polusi) belum diketahui masyarakat secara luas sebab tingkat pengetahuan masyarakat terhadap polusi belum merata. Artinya, tingkat polusi udara tidak semuanya bisa dilihat dari kasat mata. Hal itu yang membuat masyarakat tidak mengetahui apakah kualitas udara di lingkungannya berada itu dalam kondisi sehat atau tidak sehat atau membahayakan.
Pada lokasi kota padat kendaraan biasanya dipasang alat pengukur kualitas udara. Namun, alat pengukur kualitas udara yang tidak banyak di pusat-pusat kota besar di Indonesia itu juga banyak yang rusak atau tidak berfungsi sehingga masyarakat sedang berada di lingkungan itu tidak mengetahui kondisi kualitas udara dihirupnya.
Alat pengukur kualitas udara di kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru dan lainnya sangat sedikit, tidak sebanding dengan luas kota dan jumlah kendaraan yang melintas di lingkungan itu. Sesungguhnya alat pengukur kualitas udara itu sangat penting agar manusia yang berada di lokasi itu mengetahuinya dan bisa menghindarinya dengan mempergunakan masker atau tidak berlama-lama di lokasi tersebut.
Tingkat pencemaran udara (polusi) di kota kota Indonesia sudah buruk dan bahkan terkadang membahayakan. Ibukota Indonesia, DKI Jakarta misalnya dalam beberapa bulan terakhir ini terus berada pada posisi sepuluh besar kualitas udara terburuk se-dunia.
Hal ini bisa dilihat dari hasil pengukuran airvisual. Berdasarkan data yang dikutip penulis dalam beberapa bulan terakhir ini selalu dalam kondisi kualitas udara buruk sebab masuk dalam sepuluh besar kualitas udara terburuk. Pembaca juga bisa memonitor lewat laman AirVisual.com yang menampilkan kualitas udara di Jakarta dan kota-kota lainnya.
Dari data yang ada memang kota DKI Jakarta belum pernah menjadi yang nomor satu terburuk se-Dunia. Namun, pernah menjadi nomor dua terburuk se-Dunia. Hal itu terjadi pada 4 Oktober 2019 lalu kualitas udara di DKI Jakarta menempati peringkat kedua sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Hal ini bisa dilihat dari hasil pengukuran airvisual. Berdasarkan data yang dikutip penulis dalam beberapa bulan terakhir ini selalu dalam kondisi kualitas udara buruk sebab masuk dalam sepuluh besar kualitas udara terburuk. Pembaca juga bisa memonitor lewat laman AirVisual.com yang menampilkan kualitas udara di Jakarta dan kota-kota lainnya.
Kualitas udara DKI Jakarta pada 4 Oktober 2019 itu mencapai angka 187 berdasarkan AQI atau indeks kualitas udara dengan status udara tidak sehat. Kondisi tersebut setara dengan nilai polutan sebesar 125 µg/m³ dengan perimeter PM 2.5. Pada waktu itu kualitas udara terburuk pertama ditempati Kota Hanoi di Vietnam dengan nilai cukup tinggi yakni 204 berdasarkan AQI atau setara dengan PM2.5 sebesar 153,8 µg/m³.
Selanjutnya pada posisi ketiga ditempati Kota Kuwait di Kuwait dengan status udara tidak sehat. Dubai memiliki kualitas udara dengan indeks 158 berdasarkan AQI atau setara dengan PM2.5 sebesar 68,4 µg/m³. Di posisi keempat Kota Kuala Lumpur di Malaysia memiliki kualitas udara terburuk di dunia dengan AQI sebesar 158 atau setara PM2.5 sebesar 69,4 µg/m³. Posisi kelima Kota Astana di Kazakhstan memiliki kualitas udara terburuk di dunia dengan AQI setingkat di bawah Malaysia yakni sebesar 157 atau setara PM2.5 sebesar 67 µg/m³. Kelima negara tersebut memiliki status udara tidak sehat dan masyarakat lebih disarankan untuk beraktivitas di dalam ruangan. Dari data itu maka masyarakat ingin beraktivitas di luar ruangan diharuskan memakai masker agar tidak terpapar partikel halus udara berbahaya bagi kesehatan saluran pernafasan.
Data buruknya kualitas udara di DKI Jakarta itu tercatat sejak Agustus 2019 lalu, masyarakat Jakarta harus menghirup udara dengan kualitas udara buruk berdasarkan laporan kualitas udara di situs AirVisual.com.
Bagaimana dengan kota kota lain di Indonesia selain kota DKI Jakarta? Pada dasarnya tidak sama akan tetapi belum masuk dalam sepuluh besar kualitas udara terburuk se-Dunia. Namun, secara umum pula udara di kota kota besar di Indonesia tidak lagi asri. Bagi warga kota yang merindukan udara segar, asri, udara bebas polusi harus pergi keluar kota atau daerah pedesaan.
Kualitas udara tidak sehat atau buruk sudah terjadi sejak dulu dan kondisi mulai terlihat buruk pada kota kota besar di Indonesia terjadi sejak tahun 2016. Mengutip Public Expose Program Langit Biru 2016 “Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan (EKUP)” pada 14 Desember 2016 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan hasil Program Langit Biru Tahun 2016 untuk evaluasi kualitas udara perkotaan pada 28 kota dari 23 propinsi dengan nilai sebagai berikut.
Peraih nilai tertinggi hasil Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan Program Langit Biru Tahun 2016 untuk kota Langit Biru terbaik yaitu kategori Kota Metropolitan adalah Palembang dan Semarang. Untuk kategori Kota Besar yakni Balikpapan, Padang dan Surakarta. Kemudian untuk kategori Kota Sedang/Kecil yakni Jambi, Tanjung Pinang dan Ambon.
Bagi kota peraih nilai tertinggi berarti kualitas udara di kota tersebut baik. Pelaksanaan evaluasi kualitas udara perkotaan itu dilakukan dengan pengisian formulir data kota disamping kegiatan fisik yang meliputi uji emisi “spotcheck” kendaraan bermotor selama tiga hari yang dilakukan terhadap 500 (lima ratus) kendaraan pribadi per hari. Kemudian pemantauan kualitas udara jalan raya (roadside monitoring) dan penghitungan kinerja lalu lintas (kecepatan lalu lintas dan kerapatan kendaraan di jalan raya) yang dilakukan secara serentak pada tiap kota ditiga ruas jalan arteri yang dipilih bersama dan dianggap mewakili kota tersebut.
Pengukuran atau evaluasi Program Langit Biru pada dasarnya baik sebab bertujuan untuk meningkatan kualitas udara perkotaan dari pencemaran udara yang bersumber dari kendaraan bermotor melalui penerapan transportasi berkelanjutan. Hasil evaluasi Program Langit Biru setidaknya diketahui kualitas udara pada satu lingkungan atau daerah. Hal itu penting untuk menjawab tantangan dan mencari solusi atau inovatif untuk program penurunan tingkat polusi. Kemudian juga untuk menilai pemakaian atau konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam kontribusi emisi gas rumah kaca.
Data data tentang kualitas udara penting dan lebih penting lagi data data tentang kualitas udara itu dicermati, dicarikan solusinya agar kualitas udara itu membaik. Buruknya kualitas udara di perkotaan disebabkan transportasi yang tinggi menggunakan bahan bakar fosil dan pabrik pabrik yang melepaskan limbah gas mencemari udara.
Masalah pencemaran udara dari emisi kendaraan bemotor maka perlu penanganannya dengan mengurangi jumlah kenderaan di perkotaan. Solusi perbaikan kualitas udara perkotaan dengan jalan penggunaan bahan bakar bersih. Bahan bakar yang bersih berpotensi untuk meningkatkan kinerja mesin kendaraan sekaligus mengurangi pencemaran udara. Kemudian pengalihan moda transportasi dari kendaraan pribadi ke jenis angkutan umum dengan meningkatkan jumlah dan kualitas angkutan umum yang murah, aman dan nyaman sebagai bentuk menurunkan beban emisi ke udara.
Dasar hukum atau payung hukum tentang kualitas udara sudah ada yakni berdasarkan Kepmen Lingkungan Hidup Nomor Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Kriteria Kualitas Udara pada penjelasanya adalah yang dikatakan Kualitas Udara baik itu memiliki nilai 0 – 50. Artinya, tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuhan, bangunan ataupun nilai estetika. Kualitas sedang dengan nilai 51 – 100. Artinya, tingkat kualitas udara tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan, tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika.
Sedangkan kualitas udara tidak sehat dengan nilai 101 – 199. Artinya, tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika. Kualitas udara sangat tidak sehat dengan nilai 200 – 299. Artinya, tingkat kualitas udara dapat merugikan kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar. Lantas kualitas udara berbahaya dengan nilai 300 – 3000. Artinya, tingkat kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius pada populasi.
Dari data kualitas udara bila masuk kategori kualitas udara tidak sehat, sangat tidak sehat perlu pembenahan dan bila masuk kategori berbahaya perlu perbaikan segera. Pembenahan dan perbaikan kualitas udara perkotaan dengan jalan mengatur arus urbanisasi dan masalah transportasi di kota harus ramah lingkungan. Lantas masyarakat kota juga harus berkomitmen mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup.
***