Jakarta | EGINDO.com  – Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, memberikan alasan mengapa Pasal Penghinaan Presiden harus dimasukkan ke dalam draf RKUHP.
Menurut Yasonna, Pasal Penghinaan Presiden justru harus dimasukkan ke dalam RUU KUHP agar kebebasan pendapat tidak kebablasan.
Meski demikian, Yasonna menjamin adanya pasal tersebut tidak akan mengurangi kebebasan masyarakat untuk mengkritik kebijakan presiden dan pemerintah.
Lebih lanjut, Yasonna menuturkan bahwa harus ada batas-batas yang dijaga, terlebih sebagai masyarakat Indonesia yang beradab.
“Yang sebebas-bebasnya bukan sebuah kebebasan. Memberikan orang, saya kira tidak harus sampai lah kepada banyak ‘demokrasi liberal.'”
“Memang arah kita mau kesana, free for all, all for free. Memang kita harus ada batas-batas yang harus kita jaga. Sebagai masyarakat Indonesia yang beradab,” kata Yasonna dalam Live Program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Jumat (11/6/2021).
Pasal Penghinaan Presiden ini memang banyak menuai pro kontra di tengah masyarakat.
Namun, perlu diketahui, Pasal Penghinaan Presiden ini ternyata pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pembatalan tersebut dilakukan MK karena beberapa pasal dinilai bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan manipulasi.
Isi Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP
Pasal Penghinaan Presiden dalam draft RKUHP tercantum di Pasal 217, Pasal 218, dan Pasal 219.
Berikut isi dari masing-masing pasal.
Pasal 271 RKUHP
Setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 218 Ayat 1 RKUHP
Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 219 RKUHP
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sikap Jokowi terhadap Pasal Penghinaan Presiden
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, membeberkan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pasal penghinaan presiden yang ada dalam RUU KUHP.
Hal tersebut Mahfud MD ungkap melalui akun Twitter pibadinya, @mohmahfudmd, Rabu (9/6/2021).
Dalam cuitannya, Mahfud MD mengatakan, ia telah menanyakan sikap Jokowi terkait perlu tidaknya pasal penghinaan presiden masuk ke dalam RUU KUHP.
Mahfud pun menuturkan, presiden menjawab terserah pada legislatif, apapun itu yang bermanfaat untuk negara.
Namun, jika menurut pendapat pribadi Jokowi, Mahfud menyampaikan, masuk atau tidaknya pasal tersebut ke dalam RUU KUHP, hasilnya sama saja.
Pasalnya, Jokowi mengaku sering dihina, tapi dirinya tidak pernah memperkarakan.
“Sebelum jadi Menko dan ada polemik perlu tidaknya pasal penghinaan kepada Presiden masuk KUHP. Saya menanyakan sikap Pak Jokowi.”
“Jawabnya, ‘Terserah legislatif, mana yg bermanfaat bagi negara. Kalau bagi saya pribadi, masuk atau tak masuk sama saja, toh saya sering dihina tapi tak pernah memperkarakan,'” tulis Mahfud melalui akun Twitter pribadinya @mohmahfudmd.
Lebih lanjut, Mahfud pun menyimpulkan sikap Jokowi tersebut dalam cuitan lainnya.
“Jadi menurut Pak Jokowi sebagai Presiden mau memasukkan atau tidak pasal penghinaan kepada Presiden ke KUHP putusannya terserah pembahasan di legislatif, pokoknya apa yang baik bagi negara.”
“Tapi bagi Pak Jokowi sebagai pribadi masuk atau tidak sama saja, sering dihina juga tak pernah mengadu atau memperkarakan,” sambungnya.
Sumber: Tribunnews.com/Sn