Akankah KPK Tinggal Pusara?

ilustrasi KPK

PULUHAN pegawai dan penyidik independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan tak lulus tes “wawasan kebangsaan” untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Kebijakan ini dianggap sebagai upaya pelemahan KPK. Sebanyak 75 pegawai KPK, termasuk Novel Baswedan dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tak berselang lama, mereka pun langsung dibebastugaskan.

Keputusan ini menuai kritik dan kecaman dari banyak kalangan. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya menyingkirkan para penyidik yang memiliki integritas dan sedang menangani sejumlah kasus besar. TWK merupakan proses alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebanyak 1.349 pegawai KPK menjalani TWK sebagai syarat untuk peralihan status kepegawaian menjadi ASN sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pelemahan KPK

Alih status kepegawaian menjadi ASN dan TWK untuk para pegawai KPK dinilai sebagai kebijakan yang didesain untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Ketidaklulusan sejumlah pegawai dan penyidik dalam tes ini disebut telah dirancang sejak awal sebagai babak akhir upaya memberangus KPK. Sebelumnya, berbagai cara dan upaya untuk melemahkan KPK terus dilakukan. Upaya-upaya tersebut di antaranya dengan mengkriminalisasi sejumlah pimpinan KPK, teror dan intimidasi terhadap pimpinan dan para penyidik KPK, merevisi Undang-Undang KPK, terpilihnya Firli Bahuri hingga disingkirkannya para pegawai dan penyidik yang dikenal memiliki integritas dan tak kenal kompromi.

Baca Juga :  Anggaran Ekspansif PM Anwar, Tujuan Menurunkan Biaya Hidup

Namun kuat dugaan, revisi dilakukan karena elite politik dan DPR gerah dengan sepak terjang KPK khususnya terkait penyadapan.

Pasalnya, KPK berulang kali menyadap pejabat pemerintah dan anggota DPR. Dalam beberapa kali upaya revisi dilakukan, pemerintah dan DPR selalu mempersoalkan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK.

Kriminalisasi dan intimidasi

Meski pelemahan secara legislasi terhadap KPK tak terjadi, namun di era SBY marak kriminalisasi terhadap pimpinan dan para pejabat KPK yang tengah mengusut kasus korupsi yang melibatkan pengusaha dan politisi berpengaruh.

Pada 2009, ketua KPK Antasari Azhar didakwa membunuh Nasrudin Zulkarnaen dan divonis 18 tahun penjara.

Setahun sebelumnya, kepolisian menetapkan dua pimpinan KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka. Keduanya dituduh menyalahgunakan wewenang dalam menerbitkan surat cekal.

Baca Juga :  Mengenal Kalkulator Hijau BI dalam Risiko Akibat Perubahan Iklim

Kriminalisasi pada pejabat KPK juga terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Pada 2015, Polda Sulselbar menetapkan Ketua KPK Abraham Samad sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen KTP, paspor dan KK.

Pada tahun yang sama, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga ditangkap polisi atas tuduhan menyuruh sejumlah saksi memberikan keterangan palsu.

Teror, intimidasi dan kekerasan terhadap para pejabat dan pegawai KPK juga kerap terjadi. Mulai dari pelemparan bom molotov hingga tabrak lari.

Penyidik senior Novel Baswedan bahkan disiram air keras. Teror yang terjadi pada April 2017 ini membuat salah satu mata Novel buta.

Banjir dukungan

Sejumlah kalangan menentang upaya penyingkiran para pegawai dan penyidik KPK. Dukungan terhadap 75 pegawai dan penyidik KPK terus mengalir dari publik, mulai dari aktivis hingga akademisi.

Baca Juga :  Serangan Rumah Sakit Di China, 10 Orang Lebih Tewas Atau Terluka

Sejumlah guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mendesak KPK membatalkan hasil TWK. Para guru besar ini menilai pelaksanaan tes itu melanggar hukum dan etika publik.

Surat Keputusan Pimpinan KPK yang diteken Firli Bahuri dinilai bertentangan dengan pemaknaan alih status. Selain itu, TWK juga dianggap bertentangan dengan hukum.

Pasalnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tak menyebut TWK sebagai syarat alih status pegawai.

Presiden Jokowi memang meminta agar hasil TWK tak dijadikan dasar pemecatan 75 pegawai KPK. Namun, pernyataan tersebut dinilai ambigu dan tidak tegas terkait TWK yang banyak menuai kritik juga nasib 75 pegawai KPK.

Benarkah alih status dan TWK merupakan upaya pelemahan KPK? Lalu, bagaimana nasib 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK? Akankah KPK tinggal nama? Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (19/5/2021), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Sumber: Kompasnews.com/Sn

Bagikan :
Scroll to Top