Manado | EGINDO.co – Di bagian utara Pulau Sulawesi tepatnya di Semenanjung Minahasa ada sebuah suku yang biasa disebut dengan Suku Minahasa. Mereka biasa bermukim di wilayah administratif Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, Kota Manado, dan Kota Tomohon. Seluruh wilayah tersebut ada di Provinsi Sulawesi Utara dan suku Minahasa merupakan suku terbesar di provinsi tersebut.
Orang Minahasa juga sering kali disebut dengan sebutan orang Manado yang mana adalah ibukota Sulawesi Utara. Suku Minahasa merupakan gabungan dari beberapa kelompok etnis antara lain Bantik, Pasan/Ratahan, Ponosakan, Tombulu, Tondano (Toulour), Tonsawang (Tombatu), Tonsea, dan Tontemboan.
Agama asli Minahasa adalah Tonaas Walian yang masih dipervayai oleh sebagian orang. Sedangkan mayoritas orang Minahasa lain menganut agama Kristen Protestan.
Asal Usul Suku Minahasa
Pada akhir millennium ketiga dan kedua SM, disebutkan bahwa daerah Minahasa termasuk salah satu tempat migrasi pertama orang-orang Austronesia ke arah selatan. Hipotesis yang diterima secara umum adalah bahwa orang-orang Austronesia awalnya menghuni Taiwan, sebelum bermigrasi dan menempati daerah-daerah di Filipina utara, Filipina selatan, Kalimantan, dan Sulawesi sebelum akhirnya terpisah menjadi kelompok-kelompok dengan satu menuju barat ke Jawa, Sumatra, dan Malaysia, sementara yang lain bergerak ke timur menuju Oseania.
Menurut sejarah dan legenda Minahasa, orang Minahasa adalah keturunan Toar dan Lumimuut. Toar dan Lumimuut sendiri adalah orang yang diyakini suku Minahasa sebagai nenek moyang mereka.
Pada awalnya, keturunan Toar-Lumimuut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Makarua Siouw (dua kali sembilan), Makatelu Pitu (tiga kali tujuh), dan Pasiowan Telu (sembilan kali tiga). Populasi mereka berkembang pesat yang mengakibatkan perselisihan antar kelompok. Para pemimpin mereka yang bernama Tona’as kemudian memutuskan untuk bertemu dan membicarakan masalah tersebut dalam pertemuan di bukit Tonderukan yang merupakan salah satu puncak dari Gunung Soputan.
Dalam pertemuan tersebut terjadi tiga macam pembagian yang disebut Pahasiwohan (pembagian wilayah), Pinawetengan un Nuwu (pembagian bahasa), dan Pinawetengan un Posan (pembagian ritual). Pada pertemuan tersebut keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tombulu, Tonsea, dan Tontemboan. Di tempat berlangsungnya pertemuan tersebut juga terdapat sebuah batu peringatan yang disebut Watu Pinawetengan (atau Batu Pembagi).
Dalam laporan Residen Manado J.D Schierstein kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789, kata Minahasa memiliki arti “menjadi satu” dan berasal dari kata pokok asa yang merupakan kata kerja yang berarti “satu”.
Laporan tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli) dalam peristiwa yang dikenang sebagai “Perang Tateli” menggunakan sebutan Minahasa untuk Landraad (atau Dewan Negeri atau juga Dewan Daerah). Nama tersebut kemudian dipopulerkan oleh penulis-penulis Belanda pada abad ke-19 dan juga orang-orang Minahasa perantauan di Jawa pada awal abad ke-20.
Sebutan-sebutan sebelum munculnya nama Minahasa antara lain ada Minaesa (atau Ma’esa) dan Mahasa, keduanya memiliki arti yang sama dengan Minahasa. Selain itu, nama Malesung pernah digunakan sebagai sebutan untuk wilayah Minahasa.
Bahasa Suku Minahasa
Pembagian sub-etnis Minahasa termasuk dari segi bahasa di mana orang-orang dalam satu kelompok sub-etnis mempunyai dan memakai bahasa yang relatif sama. Maka dari itu bahasa-bahasa yang ada di Minahasa terdiri dari Bahasa Bantik, Bahasa Ponosokan, Bahasa Ratahan, Bahasa Tombulu, Bahasa Tondano, Bahasa Tonsawang, Bahasa Tonsea, dan Bahasa Tontemboan.
Dalam rumpun bahasa Minahasa, bahasa Tombulu, Tondano, dan Tonsea mempunyai kesamaan leksikal yang cukup tinggi di mana kesamaan antara ketiga bahasa tersebut antara 89%-90%. Kemudian disusul oleh Bahasa Tontemboan yang mempunyai kesamaan dengan ketiga bahasa sebelumnya antara 73%-83%. Bahasa Tonsawang merupakan bahasa yang paling rendah kesamaannya dengan bahasa-bahasa lain dalam rumpun bahasa Minahasa dengan kesamaan antara 54%-65%. Hal tersebut mungkin disebabkan karena daerah sub-etnis Tonsawang lebih terisolasi dibandingkan dengan daerah sub-etnis lainnya dan juga karena penutur bahasa tersebut berjumlah paling sedikit.
Tulisan kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di antaranya di Watu Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini masih dalam proses terjemahan.
Tradisi Pemakaman Suku Minahasa
Seperti masyarakat Toraja yang memiliki tradisi pemakaman yang unik, masyarakat Minahasa juga memiliki tradisi pemakaman yang masih dilakukan hingga sekarang. Tradisi tersebut biasa disebut dengan sebutan Waruga. Waruga berasal dari dua kata “waru” yang berarti “rumah” dan “ruga” yang berarti “badan”. Jadi secara harfiah, waruga berarti “rumah tempat badan yang akan kembali ke surga”.
Waruga merupakan makam khas daerah setempat yang terbuat dari kayu dan bentuknya seperti sebuah rumah. Waruga terdiri dari dua bagian yaitu badan dan tutup. Bagian badan berbentuk kotak yang terbuat dari batu utuh, bagian dalamnya dipahat untuk membuat rongga atau ruang sebagai tempat jenazah disemayamkan. Bagian atas atau tutupnya berbentuk bubungan rumah. Secara keseluruhan, waruga memiliki lebar sekitar satu meter, dan tinggi antara satu hingga dua meter. Leluhur masyarakat Minahasa memang tidak dikuburkan di dalam tanah, tetapi dimasukkan ke dalam waruga.
Di bagian bubungan waruga, terdapat ukiran yang berfungsi sebagai penanda keluarga, pekerjaan, dan kapan jenazah dimasukkan ke dalamnya. Ukiran tersebut dibuat dalam berbagai corak, diantaranya tumbuh-tumbuhan, hewan, atau motif geometri tradisional. Jika di dalam bubungan terdapat gambar hewan, berarti jenazah yang dimasukkan ke dalam, dulunya memiliki pekerjaan sebagai pemburu.
Jenazah dimakamkan dengan posisi menghadap ke arah utara, sesuai dengan kepercayaan nenek moyang suku Minahasa yang berasal dari utara.
Saat dimasukkan ke dalam waruga, jenazah akan diposisikan seperti bayi di dalam rahim. Filosofi posisi tersebut bagi masyarakat Minahasa berarti manusia mengawali kehidupan dengan posisi bayi dalam rahim, maka sudah semestinya mengakhiri hidup juga dalam posisi yang sama. Dalam bahasa setempat, filosofi tersebut dikenal dengan istilah “whom”.
(AR/dari berbagai sumber)