Kudeta, Paranoia Militer Dan Anatomi Politik Myanmar

Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri sidang pleno KTT ke-35 ASEAN di Bangkok, Thailand, Sabtu (2/11/2019).
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri sidang pleno KTT ke-35 ASEAN di Bangkok, Thailand, Sabtu (2/11/2019).

Oleh: Jafar M Sidik

Sejak pemilu 2015, militer Myanmar telah merasa kekuasaannya bakal tergerus sehingga tidak bisa lagi menjadi kekuatan dominan dalam politik negara itu. Pemilu tahun itu dimenangi oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang segera menyatakan prioritas pemerintahannya adalah menciptakan rekonsiliasi nasional. Myanmar memang sulit berintegrasi, bahkan kesulitan mencari identitas nasional, karena sengitnya persaingan antar-etnis yang bahkan saling mempersenjatai diri. Ini sudah terjadi sejak Myanmar merdeka pada 4 Januari 1948.

Setidaknya ada 17 kelompok pemberontak bersenjata yang memperjuangkan otonomi dan bahkan kemerdekaan. Itu termasuk Arakan Army di Rakhine yang berpenduduk mayoritas etnis Rakhine yang sejak lama berperang melawan militer pemerintah pusat yang disebut Tatmadaw. Di Rakhine, etnis-etnis minoritas termasuk Rohingya, terjebak antara Tatmadaw dan Arakan Army sampai pada 2013 sejumlah warga Rohingnya alumni Timur Tengah membentuk Arakan Rohingya Salvation Army.

Kelompok-kelompok etnis bersenjata ini sudah seperti organisasi tentara profesional yang dilengkapi persenjataan canggih seperti peluncur granat dan bahkan kendaraan tempur. Bamar adalah etnis terbesar di Myanmar yang berjumlah 68 persen dari total penduduk. Sisanya adalah puluhan etnis minoritas, termasuk tujuh etnis minoritas besar; Chin, Kachin, Kayin, Kayah, Mon, Arakan atau Rakhine, dan Shan.

Ketujuh etnis itu menjadi mayoritas di tujuh negara bagian Myanmar yang dinamai sama dengan nama ketujuh etnis itu. Selain itu, ada tujuh kawasan dan daerah khusus ibu kota Naypyidaw yang semuanya berpenduduk mayoritas Bamar. Sebagian pasukan etnis minoritas itu sudah tidak aktif antara lain karena gencatan senjata. Tetapi integrasi nasional yang di Indonesia selesai tak lama setelah merdeka 17 Agustus 1945, tetap menjadi persoalan besar di Myanmar sampai kini.

Tak heran hal pertama yang ditempuh Suu Kyi setelah memenangkan pemilu 2015 adalah rekonsiliasi nasional sehingga mengesampingkan agenda lamanya mengamandemen konstitusi 2008 bentukan militer yang selain membuat Myanmar terbuka kepada dunia luar, juga memberi legitimasi kepada militer untuk terus mengendalikan politik nasional. Legitimasi itu adalah jatah 25 persen kursi parlemen, tiga jabatan penting dalam kabinet (menteri pertahanan, menteri dalam negeri dan menteri perbatasan), dan ketentuan keluarga presiden dilahirkan di Myanmar sehingga Suu Kyi pun kesulitan menjadi presiden karena dia mempunyai suami warga Inggris dan anak-anak yang dilahirkan di Inggris.

Proyek rekonsiliasi Suu Kyi ini dikritik dikritik sejumlah kalangan karena mengesampingkan fakta bahwa Organisasi-organisasi Etnis Bersenjata (EAO) tidak akan mau berdamai tanpa amandemen konstitusi.  Konstitusi 2008 sendiri adalah peta jalan menuju demokrasi yang disusun militer yang terpaksa diadopsi karena tekanan hebat dari Barat dan janji militer membuka Myanmar kepada dunia luar.

Baca Juga :  Tether Pererat Cengkeraman Dunia Stablecoin Yang Goyah

Situasi Rakhine hampir paralel dengan proyek rekonsiliasi Suu Kyi pada 2015, di mana Arakan Army dan Tatmadaw terus bentrok memanas setelah Arakan Rohingya Salvation Army ikut unjuk gigi terutama untuk membangun reputasi politik di kalangan Rohingya. Mengutip laporan Crisis Group pada 28 Agustus 2020, sebagaimana etnis-etnis minoritas lainnya di Rakhine, etnis Rohingya yang minoritas terbesar di negara bagian itu terjepit antara Arakan Army dan Tatmadaw.

Rohingya dipaksa bersikap baik kepada keduanya, tetapi ini membuat mereka dituding kolaborator baik oleh Arakan Army maupun Tatmadaw, sehingga acap ditindas, sampai kemudian muncul Arakan Rohingya Salvation Army. Namun fatal, serangan Arakan Rohingya Salvation Army ke beberapa pos militer perbatasan Myanmar-Bangladesh pada 25 Agustus 2017 menjadi awal bagi apa yang disebut PBB sebagai genosida Rohingya.

Bagi sejumlah kalangan, pembantaian Rohingya pada 2017 itu dirancang Tatmadaw untuk menaikkan citranya yang terkikis Suu Kyi dan merusak proyek rekonsiliasi nasional Suu Kyi, apalagi Tatmadaw beranggapan pemberontakan dan disintegrasi hanya bisa dihadapi oleh senjata. Semakin mendekatnya Suu Kyi kepada China yang bersama Jepang berlomba membenamkan investasi besar-besaran di Mynamar, juga mencemaskan Tatmadaw yang tidak menyukai China karena menurut mereka kerap berada di balik gerakan separatis, termasuk di negara bagian Shan dan Kachin yang berbatasan dengan China di Provinsi Yunan dan Tibet.

Tatmadaw menganggap China menyetir politik domestik Myanmar sampai dianggap berada di balik kemenangan Suu Kyi pada pemilu 2015. Tak heran, tatkala NLD memenangkan pemilu 8 November 2020, tuduhan intervensi asing kembali dilontarkan Tatmadaw. Mereka tak menyebutkan nama negara asing itu, tetapi semua orang tahu yang mereka maksud adalah China. Tatmadaw menuduh ada kecurangan masif dalam pemilu 8 November sehingga komisi pemilihan umum Myanmar (UEC) harus dibubarkan. Yang sebenarnya terjadi adalah mendelegitimasi hasil pemilu sampai kemudian mengemukakan skenario anti-konstitusi karena NLD ingin mengamandemen konstitusi. Tatmadaw pun menyatakan akan mengambil tindakan jika konstitusi terancam.

Seketika itu pula isu Tatmadaw akan kudeta merebak, terlebih ada dua perkembangan penting menjelang pemilu yang sepertinya membuat Tatmadaw sudah ancang-ancang untuk mengambil alih kekuasaan.  Pertama, karena militer terus berusaha merusak proses demokratisasi, Suu Kyi pada Maret 2020 mengusulkan amandemen konstitusi demi mengurangi peran militer dalam politik. Tiga di antara yang diamandemen adalah mengurangi secara bertahap porsi 15 persen militer di parlemen dalam kurun waktu 15 tahun.

Baca Juga :  Negara Dengan Penduduk Tercantik Di Dunia, Indonesia?

Kemudian menghapus pasal panglima militer adalah “panglima tertinggi angkatan bersenjata” seperti umum dikenal di negara-negara demokrasi. Lalu, mengubah ketentuan presiden tak boleh memiliki anak yang dilahirkan di luar negeri yang selama ini membelenggu Suu Kyi sehingga hanya bisa menjadi state counsellor. Amandemen ini ditolak karena butuh 2/3 suara parlemen untuk menyetujuinya, ketika militer menduduki 25 persen kursi ditambah sekitar 15 persen kursi milik partai proksi militer, Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP).

Tetapi begitu NLD memenangkan pemilu November 2020 dengan merebut 83 persen kursi parlemen, amandemen konstitusi menguat lagi karena di atas kertas NLD kini bisa menguasai lebih dari dua per tiga kursi parlemen. Upaya mendelegitimasi hasil pemilu pun ditempuh, dan seperti dalam kasus Rohingya, Tatmadaw melibatkan kekuatan-kekuatan sipil kanan untuk menggemakan tuduhan pemilu curang. Unjuk rasa pro-militer pun meletus di berbagai kota.

NLD dan Suu Kyi menampik tudingan Tatmadaw dan malah makin berani memajukan amandemen konstitusi yang akan mengamputasi kiprah militer dalam politik Myanmar. Kedua, situasi juga sudah dipanaskan sebelumnya oleh kemungkinan diadilinya para petinggi Tatmadaw, termasuk pemimpin tertinggi mereka Jenderal Senior Min Aung Hlaing, di pengadilan kriminal internasional di Den Haag dalam kasus genosida Rohingnya pada 2017.

Kemungkinan itu terkuak setelah media, salah satunya New York Times pada 8 September 2020, mengungkapkan pengakuan dua serdadu Tatmadaw bahwa mereka diperintahkan komandannya untuk membunuh, memperkosa, mengusir dan membumihanguskan Rohingya di Rakhine pada 2017. Kejahatan yang diakui kedua prajurit Tatmadaw dilakukan oleh batalion infanteri dan pasukan lainnya yang menewaskan 150 warga sipil dan puluhan desa diratakan itu adalah salah satu bagian dari kampanye besar membinasakan Rohingya.

Pembantaian Rohingya itu memicu salah satu gelombang pengungsian paling cepat di dunia. Dalam hitungan pekan, tiga perempat juta manusia diusir dari rumahnya di Rakhine setelah pasukan keamanan menyerbu desa-desa dengan mengokang senapan, golok dan pelontar api. Kedua prajurit Tatmadaw itu sudah diterbangkan ke Den Haag di mana Pengadilan Kejahatan Internasional membuka peluang untuk bisa mengadili para pemimpin Tatmadaw atas perannya dalam kejahatan besar terhadap Rohingya.

Baca Juga :  Putin Bertemu Mitranya Dari Kuba Di Moskow

Dan tak seperti waktu pembantaian Rohingya pada 2017 di mana Suu Kyi memasang badan untuk Tatmadaw, ikon demokrasi Myanmar itu kini membiarkan para pemimpin Tatmadaw menghadapi sendiri peradilan kasus genosida Rohingya yang diajukan Gambia yang mewakili 57 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), selain juga gugatan sama yang diajukan Bangladesh terhadap Myanmar.

Menghadapi ancaman terhadap eksistensi politiknya, Tatmadaw berusaha keras mendongkel Suu Kyi dan mendelegitimasi hasil pemilu November 2020 sampai-sampai Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan para diplomat negara-negara Barat di Myanmar mengingatkan Tatmadaw agar menghormati hasil pemilu. Namun, Senin dini hari 1 Februari 2021, Tatmadaw menangkap Suu Kyi dan Presiden Mynamar Win Myint serta menyatakan Myanmar dalam keadaan darurat selama satu tahun.

Mereka menolak menyebut kudeta, walaupun faktanya jelas kudeta. Sementara bagian terbesar dunia, termasuk Sekjen PBB, serempak mengutuk Tatmadaw, menuntut Suu Kyi dan Win Myint serta semua orang yang ditahan agar segera dibebaskan. Uniknya, manuver Tatmadaw ditempuh pada saat pemerintahan AS berganti kepada Joe Biden yang internasionalis dan tengah membuka front dengan Rusia. Hubungan Tatmadaw dengan Rusia sendiri kian dekat belakangan ini.

Tidak meminta bantuan China karena sejak lama mencurigai negara ini, Tatmadaw mendekati Rusia yang berkomitmen memasok senjata kepada Tatmadaw. Bagi Rusia, koneksi Myanmar ini bukan hanya perkara transaksi militer, namun juga menguji sikap AS di bawah Biden selain akses pengaruh ke lintas kawasan. Sebaliknya, selain memasok senjata, Rusia membuat Tatmadaw memiliki sekutu yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB sehingga bisa mementahkan tindakan dan sanksi internasional dari PBB.

Di sisi lain, siklus kekerasan di Myanmar dapat memanjang lagi untuk kemudian berimplikasi luas ke lintas batas Myanmar, sementara nuansa perang pengaruh antar-negara besar bisa membuat tetangga-tetangga Myanmar di ASEAN sulit bersikap. Tetapi mengingat apa yang terjadi di Myanmar saat ini lebih dari krisis politik biasa atau kudeta militer biasa seperti pernah terjadi di Thailand pada 2014, ASEAN mesti bersikap lebih tegas. Bukan saja demi menciptakan barikade politis di Asia Tenggara untuk tidak dijadikan medan pertarungan pengaruh negara-negara besar, namun juga demi mencegah kemungkinan tercipta krisis kemanusiaan karena sumbu-sumbu konflik etnis di Myanmar masih amat mudah tersulut api perang.@

ant/TimEGINDO.co

Bagikan :
Scroll to Top