Mataram | EGINDO.co  – Untuk mencapai lokasinya, kendaraan roda empat harus melewati jalan kampung cukup satu mobil. Kemudian meniti jembatan, sebuat jembatan yang di bawahnya ada Sungai Majapahit.
Lonceng di leher sapi yang tengah memakan rumput di tepian sungai itu, terdengar bergemerincing jadi potret pedesaan khas di tanah Sunda Kecil, yakni, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selepas itu, kendaraan roda empat harus melewati hutan bambu di mana setiap kumpulan pohon bambu dipagari pagar bambu. Entah mungkin si empunya tak terima jika pohon itu dirusak oleh sapi yang hilir mudik.
Hingga akhirnya mobil yang membawa penumpangnya dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat tiba di Desa Adat Beleq yang dipercaya merupakan cikal bakal masyarakat Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Rumah adat itu terbuat dari jerami atau daun ilalang dengan berdindingkan anyaman bambu, serta lantainya dari tanah yang tingginya di atas permukaan setelah dilapisi kotoran sapi.
Dari desa itu awal masyarakat Sembalun periode II hadir setelah periode I luluh lantak amuk dari Gunung Samalas pada 1257 sehingga memaksa sekelompok warga mengungsi ke daerah hilir yakni Sambelia, Labuan Lombok sampai Selaparang serta sejumlah wilayah Pulau Lombok.
Selepas dari Desa Adat Beleq barulah kita harus mendaki sedikit menuju anak Bukit Selong. Hingga akhirnya pemandangan terbuka seperti panggung pertunjukkan alam terpampang.
Di mana, karpet petakan lahan pertanian bawang putih milik warga menganga di depan mata. Petakan itu berwarna warni saat terkena sorot sinar matahari, hijau dan kuning. Di belakangnya berdiri dengan gagahnya Bukit Pergasingan.
Sebuah pemandangan yang benar-benar eksotis, yakni petakan lahan pertanian menyerupai permadani “Aladin” bak lukisan karya maestro dunia.
Terkadang di atas Bukit Pergasingan menggelayuti awan putih berpadu dengan petakan lahan pertanian. Benar-benar memanjakan mata wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.
Saat kepala pengunjung diarahkan ke kanan sejajar dengan Desa Adat Beleq, lukisan alam kembali terampang di mana tujuh rumah adat dengan “background” Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Jika fisik memungkinkan, cobalah mendaki ke arah puncak Bukit Selong. Pemandangan nan lebih eksotis pun kembali terpampang antara petak rumah warga dan menara masjid serta petakkan perkebunan bawang putih dengan latar belakang Gunung Rinjani.
“Setiap hari ada saja yang berkunjung ke Bukit Selong untuk berfoto-foto,” kata Rosidin, warga Sembalun Lawang.
Mereka tidak hanya sekadar duduk-duduk santai tapi juga berswafoto yang kemudian diviralkan ke medsos.
Sebelum gempa 2018, kata dia, Bukit Selong menjadi tempat favorit wisatawan biasanya seusai menengok Desa Adat Beleq, kemudian mendaki sedikit melihat permadani itu.
“Tapi sampai sekarang masih tetap jadi tempat favorit meski pengunjungnya berkurang,” katanya.
Bukit Selong merupakan bagian dari Seven Summits Sembalun yang saat ini tengah menjadi incaran para peminat wisata alam khusus.
Sembalun “Seven summits”
Ketujuh puncak itu, yakni, Gunung Rinjani (3.726 Meter di atas permukaan laut (mdpl)), Bukit Sempana (2.329 mdpl), Bukit Lembah atau Gedong (2.200 mdpl), Bukit Kondo (1.937 mdpl), Bukit Anak Dara (1.923 mdpl), Bukit Pergasingan (1.806 mdpl) dan Bukit Baon Ritif (1.500 mdpl).
Seven Summits saat ini menjadi salah satu destinasi layak dikunjungi bagi kalangan pecinta wisata minat khusus pendakian gunung. Tentunya harus tetap mengedepankan protokoler kesehatan COVID-19.
Ide Seven Summits ini, tercetuskan oleh Komite Sembalun Seven Summits (S7S) yang merupakan kumpulan pemuda dan pelaku wisata petualangan yang berdomisili di Sembalun. Launching sendiri telah dilakukan sejak 25 Oktober 2020.
Hamka Abdul Malik, salah satu pionir Komite Sembalun Seven Summits menyatakan konsep wisata pendakian ini menyasar target wisatawan yang suka berpetualang dan suka akan tantangan.
Adapun ide dan gagasan Sembalun Seven Summits terinspirasi dari konsep tujuh puncak gunung tertinggi di dunia (Word Seven Summits) dan Indonesia.
“Ini murni ide dan gagasannya dari kami masyarakat lokal, ya bisa dibilang Sembalun Seven Summits ini produk lokal,” katanya.
Di mana, kata dia, ketujuh puncak tertinggi di kawasan Sembalun ini, memiliki potensi tantangan wisata pendakian yang sulit dicari tandingannya, sejarah letusan Gunung Sembalun purba dan Gunung Samalas telah meninggalkan karakter unik geologi di kawasan Sembalun yang menarik untuk dikemas dalam konsep wisata pendakian yang menjadi bagian dari “Sport Tourism”.
“Intinya ketujuh puncak bukit yang paling tinggi itu, mudah di akses dari Sembalun walaupun di antara bukit itu berada di luar wilayah Sembalun,” katanya.
Tujuan dari konsep Sembalun Seven Summits itu sendiri yakni, guna untuk membangkitkan pariwisata di Sembalun, setelah dampak gempa dan pandemi COVID-19, juga memanfaatkan potensi perbukitan yang ada di Sembalun. Karena perbukitan-perbukitan yang ada di Sembalun ini membentuk suatu tantangan yang unik, termasuk Rinjani.
Selain itu, untuk menyejahterakan masyarakat Sembalun dan sekitarnya, serta untuk memacu roda perekonomian masyarakat dari sektor parwisata. Dan menjadi salah satu alternatif bagi para wisatawan jika Rinjani ditutup.
Lebih lanjut, Hamka, mengatakan, konsep Sembalun Seven Summits ini, memberikan pengakuan dan penghargaan kepada siapa saja yang sudah pernah menggapai ketujuh puncak bukit tertinggi di Sembalun termasuk Rinjani.
Dan tidak ada batasan waktu meskipun peserta sudah pernah menggapainya misalnya sepuluh tahun yang lalu. Tentunya dengan bukti foto dan videonya berada di ketujuh puncak bukit dan Rinjani.
“Yang di sebut finisher itu, kan sudah pernah menggapai ketujuh puncak yang ditetapkan oleh komite dan berhak diberikan status sebagai finisher”, tuturnya.
Hamka juga memaparkan, Komite Sembalun Seven Summits ini bukan sebagai pengelola salah satu bukit yang ada di Sembalun dan bukan sebagai Tour Operator (TO) jasa pariwisata, namun Komite Sembalun Seven Summit adalah hanya memfasilitasi, mengesahkan orang dan yang berhak menentukan sah atau tidaknya seorang menjadi finisher.
“Dan kita, bukan pengelola kegiatan dan bukan pengelola bukit-bukit juga. Finisher atau peserta itu registrasinya di masing-masing pengelola bukit, jadi dikira itu tidak ada registrasi atau pendaftaran. Kecuali mereka bertanya bukit mana saja yang termasuk dalam Sembalun Seven Summit. Itu salah satu keunikannya juga,” katanya.
Aturannya sudah jelas di masing-masing penglola bukit maupun di Gunung Rinjani, begitu juga larangannya. Jika salah satu finisher melanggar atauran yang ditetapkan oleh para pengelola, maka seorang peserta tidak berhak disebut sebagai finisher Sembalun Seven Summits. Dan akan di beri sanksi yakni akan diblack list dari finisher Sembalun Seven Summit.
“Ya misalnya salah satu peserta calon finisher, melanggar aturan misalnya terbukti berbuat asusila di salah satu bukit atau menebang pohon dan membakar hutan. Itu bisa menggugurkannya sebagi finisher,” katanya.
Sebuah potensi lagi daerah tujuan wisata di Nusa Tenggara Barat, kini menjadi pilihan untuk dikenalkan pada masyarakat daerah, nasional, regional dan bahkan internasional, yakni permadani “Aladin”.@Ant/Sn