Jakarta | EGINDO.co -Prediksi Presiden Joko Widodo mengenai perekonomian dunia tahun depan yang sangat suram dan sulit diprediksi diperkirakan bakal menjadi kenyataan.
Sejumlah ekonom menyatakan resesi global bakal mengganggu perekonomian hampir semua negara di dunia pada 2023.
Mantan Menteri Keuangan 2013-2014 Muhammad Chatib Basri menyampaikan kondisi perekonomian global tahun depan terlihat tidak baik.
Dalam outlook International Monetary Fund (IMF), kata Chatib, seluruh negara di dunia akan mengalami minus pertumbuhan ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2023 semua negatif, kalau permintaan energinya turun maka ini yang dianggap sebagai resesi global,” ucapnya dalam Market Outlook Bank Mandiri, Rabu (12/10/2022).
Chatib meyakini hal tersebut akan semakin berpengaruh pada naiknya suku bunga acuan di Amerika Serikat dan Jerman.
“Kalau kedua negara besar tersebut bunganya naik maka berpengaruh terhadap ekspor China, dan ini yang membuat perekonomian global slow down,” imbuhnya.
Dosen senior Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyebut Indonesia secara otomatis merasakan imbas yakni turunnya harga ekspor komoditas sebagai penopang ekonomi selama ini.
Artinya dari segi eksternal, neraca dagang RI dipastikan terpukul cukup dalam tahun depan.
“Growth ekonomi kita mau tidak mau kena tapi pertanyaannya adalah seberapa dalam,” ungkap Chatib.
Dia menyampaikan solusi dari persoalan yang akan dihadapi Indonesia tahun depan hanyalah tidak terintegrasi pada global.
Negara yang ekspornya sangat tinggi di kawasan ASEAN yakni Singapura sebesar 200 persen sedangkan Indonesia cenderung aman karena hanya 25 persen ekspor terhadap PDB.
“Kalau kita bicara ekstrem hilangnya ekspo kita akan hanya hilang 25 persen dan Indonesia akan lebih baik dibandingkan negara lain yang export oriented,” tutur Chatib.
Namun demikian, dampak buruknya ketika ekonomi global pulih Singapura akan melompat, Indonesia kembali tertinggal.
Chatib memandang di sisi lain inflasi Indonesia di level produsen sudah sekitar di atas sembilan persen sementara di level konsumen itu lima persen.
“Logikanya produsen kan tidak mungkin mau jual rugi, masa costnya lebih mahal dari harga jual, dalam hal ini Bank Indonesia pasti akan meningkatkan suku bunga untuk menghandle inflasi,” jelas dia.
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam saat dihubungi mengatakan tidak melihat Indonesia sebagai calon pasiennya IMF.
Perekonomian Indonesia diperkirakan mampu bertahan walaupun banyak negara mengalami resesi dan kesulitan keuangan tahun depan.
“Indonesia tidak memiliki beban utang yang besar dan sangat disiplin dalam hal utang sebagaimana telah diatur dalam UU,” ucap Piter.
Menurut dia, defisit APBN selama ini terjaga dibawah tiga persen PDB sehingga total utang Indonesia tidak pernah mendekati 60 persen PDB.
“Saat ini utang Indonesia masih dikisaran 40 persen PDB. Di sisi lain perekonomian Indonesia juga cukup resilience dengan demikian pemerintah tidak mengalami kesulitan memutar utangnya, menerbitakan surat utang baru untuk menutup utang lama,” jelas Dosen Perbanas Institute tersebut.
Piter menilai kondisi ekonomi negara-negara yang berlindung kepada IMF sangat berbeda dengan Indonesia.
Hal itu karena perlambatan ekonomi sehingga menyebabkan mereka sulit memutar utang dan sehingga berpotensi memunculkan masalah fiskal.
Kondisi ini lebih lanjut semakin menekan perekonomian, memunculkan masalah sosial dan politik.
Resesi Depan Mata
Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan, potensi resesi global semakin terlihat didepan mata.
Sebanyak 28 negara yang berlindung pada International Monetary Fund (IMF) menjadi bukti nyata.
“Sudah ada 28 negara yang masuk untuk memperoleh bantuan IMF, 14 sudah masuk dan 14 dalam proses. Tentu ini magnitude nya lebih besar daripada krisis di tahun 98,” kata Airlangga.
Menurutnya, IMF telah mengubah pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 semula 3,6 persen menjadi 3,2 persen.
Hal itu dampak dari ketidakpastian ekonomi global dalam beberapa rantai pasok komoditas.
“Tentu dilihat dari segi supply side, itu kenaikan tajam pada beberapa komoditas, terutama komoditas energi dan terganggunya rantai pasok global,” ujarnya.
Namun Airlangga mengklaim, nilai tukar rupiah di Indonesia senilai enam persen relatif masih tinggi dibandingkan negara Kanada, Swiss, Nepal, Malaysia, Thailand dan Inggris.
Sehingga, menurutnya, Indonesia lebih moderat dibandingkan dengan beberapa negara lain.
Lebih lanjut, volatility index di Indonesia mencapai 30,49 atau dalam range indikasi 30.
Level index Exchange Market Pressure (EMP) Indonesia juga di angka 1,06 atau di bawah 1,78.
“Jadi secara eksternal kita terjaga. Namun kita harus menjaga terjadinya capital outflow. Nah ini yang harus dijaga dari aliran modal asing saham dan juga SBN yang keluar,” tutur Airlangga.
Sumber: Tribunnews.com/Sn